Catatan Orang Waras yang Hampir Tidak
Menyusuri Jalan Berdebu Bersama Foucault
Sesekali, ketika sendirian, beban hidup terasa menempel di kepala seperti helm usang: berat, pengap, dan penuh gema pikiran sendiri. Saya pun menyalakan motor dan keluar rumah, bukan untuk mencari hiburan, tapi barangkali mencari sesuatu yang lebih nyata dari layar ponsel. Di perjalanan, saya melihat deretan toko kecil saling berimpitan. Etalasenya kusam. Barang dagangannya berdebu. Warna stiker merek sudah pudar karena panas, atau barangkali karena terlalu lama tak disentuh. Tidak laku, tentu. Tapi masih berdiri.
Seperti kita.
Tidak semua yang lusuh ingin menyerah. Tidak semua yang tidak laku ingin mati. Kadang, kita hanya terlalu diam untuk menjelaskan bahwa kita masih ingin bertahan. Dan kadang juga, kita hanya bisa tertawa agar tidak terdengar retak.
Di titik itu, saya teringat Michel Foucault—sejarawan kegilaan yang tidak waras, tapi terlalu jenius untuk dikurung. Dalam bukunya, Madness and Civilization, ia menyebut bahwa di zaman dahulu, orang gila bukan selalu dijauhi. Kadang mereka dianggap suci, kadang ditertawakan, tapi tetap ada dalam lanskap sosial. Baru setelah zaman rasionalisme datang, kegilaan diusir, dikurung, diatur, dan didisiplinkan. Demi ketertiban. Demi kenyamanan mayoritas.
Ironisnya, tawa—yang sering dianggap tanda kebahagiaan—tak pernah bisa dikurung. Badut di pasar abad pertengahan menertawakan raja. Komedian hari ini menertawakan depresi. Kita sendiri menertawakan hidup yang porak-poranda sambil mengetik, “LOL” dengan jari gemetar.
“Bahagia bukan soal tawa. Komedi bukan soal kelakar.
Kadang, bahagia adalah tidur nyenyak tanpa beban.
Dan komedi? Hidup berantakan yang kita anggap lelucon—
karena kalau tidak ditertawakan, kita bisa gila.”
Tawa, dalam sejarahnya, bukan sekadar hiburan. Ia adalah bentuk perlawanan kecil. Ia menunda runtuh. Ia menjeda tangis. Dan barangkali, itulah yang membuatnya lebih waras daripada semua standar kewarasan.
Tapi sayangnya, zaman ini begitu akrab dengan luka, sampai-sampai tawa mulai dicurigai. Beberapa pengamat kejiwaan menyebut, orang yang paling sering tertawa justru menyimpan kesedihan yang paling dalam. Dan akibatnya: orang pun mulai sungkan untuk tertawa. Takut dikira menyimpan trauma. Takut disangka menyembunyikan sesuatu yang lebih murung dari yang tampak.
Lucu ya? Sekarang, bahkan tawa pun bisa jadi sesuatu yang menakutkan.
Jika standar kebahagiaan hanyalah tawa, barangkali kamu tidak perlu bekerja sekeras ini. Tidak perlu bangun subuh demi absen digital yang dingin dan tanpa wajah. Tidak perlu tersenyum sopan saat isi rekeningmu bahkan tidak sopan. Tapi tidak. Dunia tidak bertanya apakah kamu bahagia. Dunia hanya ingin tahu: “Kamu masih bisa kerja, kan?”
Maka, bersukurlah saat kita butuh tema komedi—agar minimal kita bisa tersenyum. Meski tak semua komedi mesti lucu, sebab puncak dari komedi adalah memahami, dengan sepenuh kesadaran, keadaan kita sendiri.
Dan barangkali, tawa kita—dengan penuh kesadaran—adalah benteng terakhir kesehatan mental, sebelum dunia memutuskan bahwa kita harus disuntik obat penenang.
Dan ketika saya kembali melewati toko berkarat itu, saya tersenyum kecil. Ia tetap berdiri. Meski berdebu. Meski tidak laku. Tapi ada.
Seperti kita.