Mitos Modern: Makna yang Diperdagangkan

Dalam Mythologies, Barthes membedah berbagai contoh, dari iklan sabun cuci sampai poster tentara Prancis kulit hitam yang memegang bendera. Ia menunjukkan bagaimana hal-hal biasa disulap menjadi “kebenaran alami.” Sebuah merek sabun tak hanya membersihkan, tetapi juga memancarkan citra moralitas. Mobil sport tak sekadar alat transportasi, tetapi simbol kemajuan peradaban.
Mitos bekerja dengan cara memindahkan makna historis menjadi makna yang seolah tak terbantahkan. Bahasa menjadi alat sihir: apa yang sebetulnya hasil konstruksi budaya, dikemas seperti naluri. Dalam mekanismenya, tanda (signifier) dan makna (signified) direkatkan secara paksa. Kita pun percaya bahwa membeli produk tertentu berarti menjadi modern, beradab, atau sukses.
Jika kita tarik ke masa kini, mitos modern justru semakin merajalela. Di era digital, makna diedarkan lebih cepat daripada dulu. Gambar penderitaan anak-anak dalam iklan donasi, testimoni influencer tentang “gaya hidup sehat,” atau iklan gadget dengan slogan kebahagiaan—semuanya contoh mitos baru. Bedanya, distribusinya lebih instan, lebih masif, dan lebih sulit dilawan.
Di sinilah Barthes bertemu fenomena yang kini sering kita sebut sebagai post-truth. Ketika perasaan lebih dipercaya daripada fakta, dan simbol lebih menentukan realitas ketimbang data. Mitos menciptakan kabut yang membuat publik sulit membedakan mana narasi jujur, mana narasi rekaan. Dalam kabut ini, kebenaran menjadi barang dagangan: siapa yang punya modal promosi, dialah yang mencetak “kebenaran.”
Maka, membaca Barthes bukan sekadar latihan akademik. Ini latihan kepekaan: agar kita tak mudah terlena pada kata-kata manis yang meminjam wibawa moral padahal hanya menjual citra. Agar kita bisa sedikit lebih curiga pada apa yang tampak “alami.” Dan agar kita sadar, bahwa di balik setiap tanda yang kita konsumsi, selalu ada kekuasaan yang bekerja.