Pertarungan Kelas di Antara Para Pemberontak


Ada kalanya yang paling sengit bukanlah pertarungan antara rakyat dan penguasa, atau antara ideologi kiri dan kanan, tetapi justru benturan halus antar mereka yang sama-sama mengaku berada di pihak yang melawan. Bukan lagi "pemberontakan melawan sistem", tetapi "pemberontakan tentang siapa yang paling layak disebut pemberontak."

Dalam buku The Rebel Sell, Joseph Heath dan Andrew Potter menjelaskan bagaimana budaya kontra (counterculture) tidak serta-merta menjadi bentuk perlawanan terhadap konsumerisme. Justru, gaya hidup "alternatif" yang dulu dipuja karena melawan arus kini telah menjadi bagian penting dari arus itu sendiri. Semakin "unik" dan "melawan", semakin bisa dijual. Kapitalisme bukan hanya tak takut terhadap pemberontakan—ia justru menyambutnya, selama bisa dikemas dan dipasarkan.

Namun hari ini, ironi itu berkembang ke arah yang lebih pelik. Pemberontakan bukan hanya komoditas, ia telah menjadi arena persaingan. Di dalam pasar simbolik ini, para pemberontak saling berebut panggung: siapa yang paling otentik, siapa yang paling radikal, siapa yang paling layak dipercaya sebagai suara alternatif. Jika dulu musuhnya adalah sistem, kini lawannya adalah sesama pembangkang.

Inilah yang bisa disebut sebagai pertarungan kelas di antara para pemberontak. Bukan kelas ekonomi dalam arti tradisional, melainkan kelas dalam arti status simbolik dan otoritas moral. Mereka yang merasa telah lebih lama bergelut dalam medan perjuangan kerap memandang sinis pendatang baru yang lebih laku secara visual, meski belum tentu secara etis. Sebaliknya, pemberontak muda—seringkali tampil impresif di media sosial—memandang yang lama sebagai fosil gerakan: kaku, elitis, dan kurang komunikatif.

Žižek, dalam banyak kesempatan, menyindir fenomena ini sebagai "pemberontakan kosong"—sebuah pose radikal yang membuat pelakunya merasa bermoral tinggi, tanpa benar-benar mengguncang struktur kekuasaan. Ia menyebut bagaimana kita cenderung merasa sudah cukup "melawan" hanya dengan memakai simbol-simbol perlawanan: kaos Che Guevara, totebag bertuliskan revolusi, unggahan marah di media sosial. Bahkan rasa bersalah kelas menengah terhadap ketimpangan bisa diredam dengan konsumsi simbolik: ikut workshop aktivisme, beli buku kiri, lalu selfie dengan quote eksistensial.

Apa yang dulu diperjuangkan kini menjadi elemen estetik. Distro-distro di kota-kota besar yang awalnya muncul sebagai perlawanan terhadap pasar mode arus utama, kini bersaing menjual gaya perlawanan paling keren. Kaos bergambar molotov, topi bertuliskan "fuck the system", jaket army dengan slogan marxis—semua hadir sebagai pilihan ukuran dan warna. Pertanyaannya: jika semua orang bisa membeli simbol perlawanan, maka apa yang tersisa dari perlawanan itu sendiri?

Di sisi lain, aktivisme juga menjadi terfragmentasi. Ada yang memilih jalur akademik, tampil intelektual, penuh kutipan. Ada yang berjuang melalui seni, mural, musik, grafiti. Ada yang hidup di dunia zine dan fotokopi. Dan tentu, yang paling berisik hari ini: aktivis media sosial. Yang terakhir ini seringkali dituduh hanya mencari panggung. Tapi kita tak bisa menyangkal: mereka punya jangkauan. Di sinilah pertarungan dimulai.

Mereka yang hidup dalam "kesunyian perjuangan"—mengorganisir komunitas, advokasi hukum, kerja akar rumput—kadang merasa geram melihat akun dengan ratusan ribu follower yang bisa mengklaim posisi otoritatif hanya karena piawai bermain narasi. Sebaliknya, mereka yang populer di media sosial merasa sering dilecehkan oleh kaum lama yang enggan mengakui bentuk baru perjuangan.

Foucault mungkin akan berkata: ini bukan hanya soal siapa yang paling benar, tapi siapa yang memiliki kuasa untuk menentukan kebenaran itu. Siapa yang punya akses pada wacana, siapa yang lebih didengar, siapa yang bisa memutuskan mana kritik yang sah dan mana yang hanya gimik. Kekuasaan, dalam hal ini, tidak selalu berseragam atau berkantor. Ia bisa berwujud akun populer, editor media, atau kurator festival.

Di titik ini, pemberontakan tak ubahnya pasar bebas. Masing-masing aktor menjajakan versinya sendiri. Ada yang menjual etos perjuangan, ada yang menjual estetika perlawanan, ada pula yang menjual perasaan bersalah kolektif. Dalam ruang yang makin padat ini, yang paling viral bukan selalu yang paling radikal—tapi yang paling komunikatif, paling ringan, paling bisa dikonsumsi.

Lalu muncullah pertanyaan getir: apakah semua ini hanya permainan citra? Apakah pemberontakan hari ini hanyalah strategi personal branding?

bell hooks pernah mengingatkan bahwa perjuangan bukan soal siapa yang paling lantang, tetapi siapa yang paling tekun membangun solidaritas. Ia mengkritik aktivisme yang hanya memamerkan luka, tanpa membangun jembatan. Ini penting di tengah pertarungan kelas para pemberontak, sebab yang sering terlupakan adalah: siapa yang sedang dibela?

Bila aktivisme hanya jadi panggung saling serang antar aktor, lalu kapan suara mereka yang tak punya panggung bisa didengar? Bila simbol-simbol perlawanan hanya dipertukarkan antar sesama kelas menengah terdidik, lalu bagaimana nasib mereka yang hidupnya benar-benar tertindas tapi tidak tahu cara menulis thread panjang di Twitter?

Kita mungkin sedang menyaksikan kelahiran aristokrasi baru: para influencer perlawanan, para kurator penderitaan, para seleb kritik. Tak ada yang salah dengan popularitas, tapi ketika popularitas menjadi ukuran kebenaran, maka kekuasaan lama hanya berpindah tangan.

“The worst slave is the one who thinks he is free just because he is allowed to rebel a little.”
—Slavoj Žižek

Barangkali, yang paling radikal hari ini bukan mereka yang paling lantang melawan, tetapi mereka yang menolak menjadikan pemberontakan sebagai panggung baru untuk saling menepuk dada.