Dinding Lembab dan Janji Kosong Para Pengemis Suara Lima Tahunan

Di sudut ruangan yang lembab, saya duduk ditemani kipas angin tua yang hanya bisa geleng-geleng. Ia tak pernah mengangguk—karena kalau mengangguk, berarti rusak. Barangkali, dalam dengung dan goyangannya yang monoton itu, kipas itu sedang ikut kecewa. Karena yang diceritakan di ruangan ini bukan angin segar, melainkan kabar yang itu-itu lagi: tentang kemiskinan yang tak kunjung usai.

Saya masih sering membayangkan bagaimana rasanya menjadi orang yang mapan. Bukan mapan karena kerja keras sepanjang hidup, tapi semapan mereka yang hanya bekerja lima tahunan—para anggota dewan, presiden, wakilnya, gubernur, bupati, dan seluruh jenis pejabat yang datang dengan janji dan pergi dengan tunjangan. Mereka ini semacam profesi musiman yang mewah. Muncul saat kampanye, hilang saat rakyat butuh pembelaan.

Setelah terpilih, mereka tenggelam dalam birokrasi yang lebih sibuk menjaga citra daripada menjawab keluhan rakyat. Mereka tinggal rapat, tinggal teken, tinggal minta fasilitas. Jabatan menjadi jaminan kemapanan, bukan karena kinerja, tapi karena koneksi dan posisi tawar.

Saya tidak sedang sambat. Ini hanya refleksi. Karena kemiskinan, hari ini, bukan lagi soal makan atau tidak makan. Tapi soal bagaimana rakyat dibuat menderita perlahan—oleh harga yang tak terjangkau, oleh ketidakpastian, dan oleh sistem yang hanya berpihak pada mereka yang sudah punya.

Yang paling menyakitkan bukan hanya karena hidup terasa berat, tapi karena kita terus dibandingkan. Sosial media memaksa kita merasa kurang. Kita melihat selebriti pamer liburan, pejabat pamer kesederhanaan palsu, dan influencer membanggakan "hasil kerja keras" yang sebenarnya didapat dari privilese dan koneksi. Sementara kita? Sibuk mencicil sembako di warung sebelah.

Saya tidak lantas ingin menyalahkan pemerintah atas kemiskinan saya. Sebab, bagi para motivator kaya, orang miskin itu katanya hanya karena malas dan tidak bisa mengatur keuangan. Mereka lupa satu hal penting: ada kemiskinan yang memang diciptakan. Distrukturkan. Dijaga agar tetap ada demi kepentingan sebagian kecil yang hidup dari ketimpangan.

Kemiskinan hari ini bukan hanya tentang isi dompet, tapi soal rasa kalah. Rasa malu. Rasa tidak berdaya saat melihat yang semestinya bekerja untuk rakyat malah sibuk memperkaya diri dan kelompoknya.

Dan para pekerja lima tahunan itu, mereka datang lagi tiap musim pemilu. Mengetuk pintu rakyat, membawa senyum dan janji. Tapi kita tahu, mereka datang bukan untuk menyambung hidup rakyat, tapi menyambung masa jabatan. Mereka hanya hadir agar lima tahun lagi mereka masih bisa duduk di atas, sementara rakyat tetap menunduk di bawah.

Petani terus menderita. Harga pupuk melambung, harga panen ditekan. Nelayan dibatasi, buruh digaji murah. Dan di tengah semua itu, pemerintah terus bicara soal optimisme, narasi besar, dan cinta tanah air—seolah-olah rasa kenyang bisa dibangun dengan retorika.

Dan bagaimana dengan janji jutaan lapangan pekerjaan? Lebih gaib dari mobil Esemka. Mobil itu, setidaknya, pernah terlihat di showroom mobil bekas. Lapangan kerja? Tak tampak, bahkan di papan lowongan. Yang ada hanya kerja serabutan, tanpa perlindungan dan tanpa kepastian.

Namun rakyat terus diminta bersabar. Untuk percaya. Untuk diam. Untuk tidak memperkeruh suasana. Untuk tidak membuat gaduh media sosial. Seakan-akan penderitaan itu harus tetap senyap, agar tak mengganggu suasana “pembangunan”.

"Kaum penindas tidak pernah berniat memajukan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh; yang mereka dukung hanyalah segelintir pemimpin terpilih."
— Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed (1968/1970), hlm. 103

Atau, barangkali...: 

"Revolusi bukanlah sebuah apel yang jatuh ketika sudah matang. Anda harus membuatnya jatuh."
— Che Guevara, dalam Revolusi Che Guevara (T.W. Utomo, Gramedia, 2010)

Keadaan tidak akan berubah jika kita hanya menunggu. Tidak akan datang perbaikan dari orang-orang yang terlalu nyaman hidup di atas penderitaan. Kalau rakyat terus diam, maka yang akan jatuh bukan keadilan—melainkan harga diri.

Dan inilah ironi paling "lucu" dan "asik" dari semuanya:
Para pejabat bisa menaikkan tunjangannya dalam satu rapat,
sementara rakyat jelata, untuk cukup pun, mesti dicicil.

Mungkin, bagi sebagian dari Anda, apa yang saya tuliskan ini terdengar berlebihan. Saya bisa memaklumi itu—karena tidak semua orang pernah benar-benar tahu rasanya hidup dalam kekurangan yang terus-menerus. Tapi coba bayangkan sejenak: bagaimana jika yang saya ceritakan tadi bukan sekadar keluhan, melainkan kenyataan harian bagi jutaan orang? Bagi mereka, ini bukan berlebihan. Ini justru belum cukup untuk menggambarkan getirnya hidup yang mereka jalani.