Suara Lomba Voli yang Menyebalkan


Tidak usah pakai sound horeg. Serius. Suara lomba voli dari desa sebelah saja sudah cukup untuk membuat Mbok saya—yang sedang sakit stroke—tidak bisa tidur semalaman. Dentuman musik dari speaker rakitan, ditambah suara komentator yang berteriak-teriak seperti sedang siaran langsung di stadion, semuanya datang tanpa diundang, menyerbu ruang tidur kami.

Ini bukan soal anti hiburan. Ini soal tenggang rasa yang pelan-pelan hilang dari masyarakat. Kita hidup berdekatan, tapi seperti tidak lagi saling memperhitungkan kenyamanan satu sama lain.

Baru-baru ini, di desa sebelah, ada lomba voli malam. Meriah? Jelas. Tapi juga brutal... secara audio. Speaker sebesar lemari es dijejer di pinggir lapangan, memuntahkan lagu-lagu remix MP3 dengan dentuman keras. Tidak ada DJ, tidak ada teknisi suara, hanya playlist otomatis yang menyala entah sampai jam berapa. Di sela-selanya, komentator bersuara lantang: kadang menyemangati, kadang curhat, kadang seperti sedang main TikTok live.

Yang paling menyedihkan, semua itu terjadi ketika kebanyakan orang butuh tidur. Termasuk ibu saya yang sedang terbaring lemah. Umurnya sudah sepuh, dan dalam kondisinya sekarang, mendengar suara kucing lewat saja sudah cukup mengejutkan. Apalagi dentuman sound seperti konser di tengah malam.

Sesekali, saya menyempatkan diri duduk di samping ranjang ibu—yang terkadang rewel juga karena suara itu. Saya menggenggam tangan beliau yang gemetar, memijit pelan-pelan hanya untuk sekadar menenangkan. Setiap kali musik berdentum, saya ikut menghela napas panjang. Bukan karena tidak berdaya, tapi karena tidak percaya—bahwa kita hidup di lingkungan yang katanya gotong royong, tapi makin jarang mengerti makna tenggang rasa.

🔧 Apakah Suara Tidak Bisa Dibatasi di Sekitar Lapangan Saja?

Bisa. Sangat bisa.

  • Arah speaker bisa diatur agar menghadap ke dalam, bukan menyebar ke pemukiman.
  • Volume bisa disesuaikan, terutama di malam hari.
  • Zoning suara bisa diterapkan agar tidak semua area mendapat tekanan yang sama.
  • Dan jika panitia punya niat baik, teknologi sudah sangat memungkinkan untuk menyajikan hiburan tanpa menyiksa lingkungan.

Tapi masalahnya bukan pada alatnya. Masalahnya ada pada niat. Pada empati yang hilang.

Yang lebih ironis, tadarus Al-Qur’an di bulan Ramadan saja bisa diminta untuk dibatasi, demi ketenangan lingkungan. Tapi dentuman musik remix dan teriakan komentator kadang justru dibiarkan sampai larut malam tanpa peduli siapa yang terganggu. Bukan soal agama atau musik. Ini soal standar ganda dalam memperlakukan ruang bersama.

Saya tidak membenci pesta. Tidak juga anti pada kemeriahan. Tapi saya percaya: senang-senang itu tetap bisa dilakukan tanpa memekakkan telinga orang lain.

Yang saya harapkan bukan larangan total, bukan kebencian, bukan nyinyir semata. Tapi cukup: sedikit tenggang rasa. Karena tanpa itu, kita mungkin memang hidup ramai... tapi dengan hati yang kosong.