Endless Sacrifice di Kasur Ber-Tinggi


Kita ini generasi yang asik.
Selera kita tinggi—musik klasik, buku eksistensial, mimpi megah.
Tapi bantal kita juga ber-tinggi, kasur kita tak pernah sepi dari racauan ngengat dan tungau.

Siang hari, kita berusaha tampil berkelas. Memutar Fur Elise dari YouTube gratisan, pura-pura paham harmoni Beethoven yang katanya jenius. Sambil rebahan di kasur reot, dengan bantal penuh kutu kecil yang tak pernah benar-benar terusir.

Di samping bantal itu, terbuka dua bacaan yang membuat kita merasa sedikit cerdas: L’Etranger karya Albert Camus dan Lapar karya Knut Hamsun. Dua-duanya bercerita tentang absurditas dan kelaparan. Dua-duanya pas sekali menemani seseorang yang tak sengaja menjadikan hidupnya eksperimen eksistensial yang tak pernah diminta.

"Hari ini Mama meninggal. Atau mungkin kemarin, aku tidak tahu."
– Albert Camus, L’Etranger

Kalimat pembuka Camus itu terdengar dingin, seakan tak peduli apa pun. Tapi pada akhirnya, kita juga sama—terlalu letih untuk mengingat tanggal, apalagi menghayati perasaan.

Malam datang. Kita ganti suasana. Earphone murahan ditancapkan. Kali ini bukan Beethoven, tapi Dream Theater—lagu Endless Sacrifice meledak di kepala.
Endless sacrifice… it’s never enough.
Kita mengangguk pelan, seolah paham rasanya pengorbanan panjang yang tak pernah selesai. Padahal yang sebenarnya dipikirkan cuma: Besok masih ada uang buat beli kerupuk, nggak ya?

Lucunya, saat nada progresif gitar Petrucci makin rumit, kita malah merasa semakin dekat dengan realitas paling sederhana: dompet kosong.
Sampai akhirnya kita berhenti berpura-pura jadi penikmat musik progresif. Karena satu-satunya yang progresif di hidup ini hanyalah harga beras yang naik tanpa pamit.

Kadang orang bilang: Kalau kau ingin hidup lebih baik, rajinlah bekerja.
Padahal kita tahu, rajin bekerja pun sering cuma membuat lelah, tanpa banyak mengubah keadaan. Karena pada akhirnya, negara hampir tak pernah peduli dengan kita. Kita ini hanya angka kecil dalam laporan tahunan yang diketik setengah malas.

"Aku merasa seakan-akan telah menyerahkan sesuatu yang penting di dalam diriku, sesuatu yang tak akan pernah kutemukan kembali."
– Knut Hamsun, Lapar

Mungkin itu martabat. Mungkin itu rasa aman. Atau sekadar harga diri yang makin tipis.

Tapi setidaknya, kita masih punya imajinasi. Masih punya beberapa referensi untuk mengolok kemiskinan sendiri. Masih bisa tertawa di antara remah kerupuk dan kutu bantal.

Kita hanya perlu sedikit kesadaran: kemiskinan kita ini otentik. Bukan kemiskinan yang dipentaskan di depan kamera, bukan kemiskinan palsu yang dirancang untuk mencuri simpati suara lima tahunan.

Dan anehnya, justru di situ kita menemukan sedikit kebebasan.
Sedikit martabat yang tidak bisa dicuri siapa pun.
Karena kalau hidup tak bisa dibikin layak, paling tidak kita bisa menertawakannya dengan cara paling jujur.

Di sini kita tidak perlu lagi repot-repot menggugat otensintas wahyu Tuhan ala Aksin Wijaya atau (yang agak ekstrim) Richard Dawkins—sebab kemiskinan kita sendiri sudah otentik.