Financial Freedom, Menurut Hanif

Sebagian orang menyebut zaman ini sebagai era literasi finansial. Banyak buku, kursus daring, dan ceramah motivasi yang mengajarkan betapa pentingnya menjadi merdeka secara finansial. Konsep financial freedom sering dikemas seperti kunci sakti yang konon bisa membuka pintu kebahagiaan—pintu di mana kita tak lagi bekerja hanya demi bertahan hidup, di mana waktu luang menjadi milik pribadi, dan pilihan-pilihan hidup tak lagi diatur oleh besarnya gaji bulanan. Bersamaan dengan itu, istilah passive income juga berkibar, menjadi jargon yang terdengar sederhana: pendapatan yang mengalir sendiri, bahkan saat kita tidur nyenyak.

Dalam definisi yang lebih formal, financial freedom berarti kondisi ketika penghasilan pasif atau aset yang dimiliki cukup untuk membiayai seluruh kebutuhan hidup tanpa harus bergantung pada pekerjaan aktif. Tidak ada lagi kecemasan tentang tagihan bulanan, tak perlu menunggu gaji, karena sudah ada sumber dana yang stabil. Sementara passive income dipahami sebagai pemasukan yang dihasilkan tanpa keterlibatan aktif setiap hari, seperti sewa properti, dividen saham, royalti buku, atau bisnis yang sudah berjalan otomatis. Dalam berbagai seminar, kedua istilah ini dipresentasikan dengan grafik indah—garis biru penghasilan yang terus naik, garis merah pengeluaran yang stagnan, lalu muncul kata freedom besar-besar yang seakan suci. Dan berawal dari imajinasi manis semacam inilah, banyak orang akhirnya terseret dalam investasi bodong atau MLM “keparat” yang menjual mimpi kebebasan finansial instan, lengkap dengan testimoni palsu dan janji manis yang tak pernah benar-benar ditepati.

Namun, realitas sering tak seindah bagan. Mencapai kondisi itu tidak mudah. Passive income tidak selamanya pasif. Rumah sewaan bisa kosong, saham bisa terjun, bisnis bisa macet. Dan ketika uang mulai datang, masalah lain muncul. Banyak orang terjebak dalam perlombaan berikutnya: ingin passive income lebih tinggi, aset lebih banyak, keamanan lebih mutlak. Kecemasan pun tumbuh, bukan hanya karena kekurangan, tetapi juga karena rasa takut kehilangan.

Padahal kita tahu, tidak semua orang memulai dari garis yang setara. Tidak semua keluarga punya aset untuk diwariskan, tidak semua orang memiliki modal untuk membeli properti, dan tidak semua pekerjaan bisa diubah menjadi bisnis yang otomatis berjalan sendiri. Dan sering kali, banyak orang lupa satu faktor kunci dalam hidup: keberuntungan. Lahir dalam keluarga yang memberi akses, bertemu orang yang tepat di waktu yang tepat, memiliki kesempatan belajar atau bekerja di tempat yang mempercepat jalan—semuanya sering dianggap hasil kerja keras, padahal ada unsur keberuntungan yang tak sedikit.

Selain soal teknis, ada sisi yang jarang dibahas: beban psikologis dan jebakan ekspektasi. Tidak sedikit orang yang berhasil pensiun dini atau merdeka secara finansial, lalu mendapati hidupnya hampa. Karena ketika penghasilan sudah stabil, pekerjaan yang dulu menjadi identitas tiba-tiba hilang. Waktu luang yang dulu dirindukan justru berubah jadi ruang kosong yang sunyi. Lalu diam-diam, hidup yang diidamkan sebagai kebebasan berubah menjadi kebosanan yang panjang.

Itulah sebabnya, di warung kopi, kami memilih mendefinisikan semua istilah itu dengan cara yang lebih sederhana sekaligus lebih satir. Hanif, teman kami yang saat semayan datangnya bisa berjam-jam—yang menunggu hingga kemalaman, pernah berkata dengan serius, “Merdeka finansial itu artinya bebas dari urusan uang karena memang tidak punya uang.” Pernyataan itu disambut tawa, lalu ditambah komentar lain, “Kalau passive income, ya pemasukan yang pasif. Saking pasifnya sampai tidak pernah muncul.” Kami pun tertawa lebih keras, karena di balik canda itu, ada pengakuan jujur bahwa hidup tidak selalu patuh pada rumus-rumus motivasi.

Di sela percakapan itu, seseorang mengutip Erich Fromm yang pernah menulis, “Manusia modern terobsesi memiliki lebih banyak, padahal yang mereka butuhkan sebenarnya adalah menjadi lebih.” Lalu yang lain menyebut nasihat lama Epikurus, bahwa kekayaan sejati bukan soal jumlah kepemilikan, tetapi soal seberapa sedikit yang kita perlukan untuk merasa cukup. Entah siapa yang pertama kali membaca kutipan itu, entah siapa yang terakhir kali merenungkannya, tapi di antara gelas kopi yang mulai dingin, kata-kata itu terdengar lebih relevan daripada brosur investasi yang sering mampir ke grup WhatsApp.

Definisi warung kopi memang terdengar sinis, tetapi entah kenapa lebih jujur. Di luar sana, financial freedom sering ditampilkan seakan-akan semua orang tinggal meniru langkah-langkah dan hasilnya pasti sama. Padahal kita tahu, kadang keinginan untuk merdeka finansial hanya menjadi cara lain untuk terus merasa kurang.

Dalam tawa itu, kami seakan sepakat bahwa kebebasan sejati barangkali tidak datang dari seberapa banyak uang yang bisa dikumpulkan, tetapi dari seberapa ringan hati menanggapi keadaan. Karena kalau definisi financial freedom harus selalu dikaitkan dengan grafik penghasilan yang tak pernah turun, akan selalu ada ruang untuk kecewa. Sementara jika kebebasan didefinisikan sebagai kemampuan untuk menertawakan kekurangan, hidup terasa lebih lapang, meski rekening tak pernah tebal.

Mungkin itu sebabnya, di meja kayu yang mulai retak dan di antara cangkir kopi yang tak pernah benar-benar penuh, kami menemukan definisi yang lebih mudah dijalani. Bahwa merdeka finansial bisa juga berarti tak terlalu memikirkan uang sepanjang waktu. Bahwa passive income kadang hanya ilusi, dan tak apa-apa jika hidup tak selalu sesuai skema. Karena pada akhirnya, tak semua kebahagiaan harus dibeli, dan tak semua kebebasan diukur dengan saldo. Kadang, cukup dengan tertawa bersama, kita sudah lebih merdeka daripada yang kita kira.

Tulisan ini sebenarnya bukan tulisan yang ingin mencerahkan. Ya, karena penulisnya tidak punya penghasilan tetap dan sedang tidak punya uang. Jadilah tulisan ini hanya semacam pengakuan kecil—bahwa mungkin, kita semua sedang sama-sama belajar menertawakan kekurangan, supaya hidup terasa sedikit lebih lapang. Sebab, kata orang, salah satu jalan menuju kebijaksanaan adalah bisa mentertawakan diri sendiri.

bedo uwong versi