Kematian di Era Hashtag

Ada masa ketika kabar kematian disampaikan dengan bisik-bisik. Suara orang tua terdengar lirih, menyebut nama almarhum dengan pelan, seakan takut kabar itu semakin menyesakkan dada jika diteriakkan. Ziarah dilakukan dalam senyap, dengan doa yang terucap pelan-pelan.

Kini, kematian datang lewat notifikasi. Ada yang menandai nama kita dalam status Facebook. Ada yang berkabar lewat story dengan foto hitam-putih, dihiasi tulisan Rest In Peace dalam font yang entah kenapa harus melengkung. Tidak ketinggalan, sebaris tagar:

#FYP #FBPro #ForYou

Seakan-akan kehilangan pun wajib tampil di etalase algoritma, agar pantas mendapat tempat di beranda orang banyak.

Kematian di zaman ini bukan hanya kehilangan orang yang kita sayangi. Kadang, ia juga kehilangan ruang sunyi. Duka menjadi konten, dan konten menuntut keterlibatan audiens. Kalau bisa, viral sekalian. Supaya lengkap rasanya.

Di satu sisi, mungkin ini cara manusia modern melawan sunyi: Kalau semua orang tahu aku berduka, kesedihanku terasa lebih sah. Di sisi lain, absurditas itu tumbuh diam-diam. Kita mulai mengukur kesungguhan belasungkawa dengan angka:

  • Siapa yang komentarnya paling banyak?
  • Siapa yang reaksinya paling cepat?
  • Siapa yang sempat mengetik “turut berduka” disertai emoji menangis?

Absurditas bertambah lucu—dan getir—saat tagar tak lagi peduli konteks. Duka bercampur hasrat performa. Kita melihat status obituari berbaris di feed bersama promo skincare, jualan celana, dan video kucing menari. Semua berusaha bersaing merebut atensi, seolah kesedihan pun harus kompetitif.

Ada juga yang membuat video slideshow: potret almarhum dengan musik sendu, kadang diiringi lagu “See You Again” atau instrumen piano murahan. Keterangan fotonya:

Selamat jalan, Bapak. Terima kasih atas semua pengorbananmu.
#FYP #ViralInshaAllah

Dan tak jarang, kesedihan ini ikut dimonetisasi. Setiap klik, setiap tayangan, setiap engagement menjadi peluang iklan. Platform akan menghitungnya sebagai “interaksi positif.” Sementara di sisi layar, pihak lain menghitung nilai rupiah yang dihasilkan dari tragedi. Kematian menjadi bahan bakar mesin trafik. Kehilangan berubah jadi inventaris audiens.

Barangkali ini memang zaman yang tak mau membiarkan apa pun sekadar menjadi. Segalanya harus diproduksi, dibagikan, dimonetisasi, divalidasi. Bahkan kematian pun tak luput dari kewajiban tampil—dan menghasilkan.

Kita pun mulai bertanya pelan-pelan: apakah kehilangan masih suci, jika setiap air mata diabadikan dalam reel lalu diselipkan iklan? Apakah duka masih tulus, jika ia dilengkapi stiker emoji tangisan dan notifikasi pendapatan yang pelan-pelan bertambah?

Mungkin bukan jumlah penonton yang membuat perpisahan menjadi nyata. Bukan pula saldo yang masuk dari content monetization. Mungkin yang lebih penting adalah keberanian menatap kehilangan tanpa perlu menjadikannya barang dagangan.

Karena pada akhirnya, ada ruang duka yang tak harus disiarkan. Ruang tempat kita merawat kenangan dengan diam, tanpa #FYP. Ruang tempat makna kehilangan tetap berdenyut, meski tak pernah viral, dan tak pernah menghasilkan sepeser pun.