Kemiskinan yang Menghibur
Kemiskinan, selama ini sering dianggap hal yang menyedihkan. Lapar dianggap menyiksa, tagihan listrik terasa menakutkan, dan amplop kondangan bisa membuat orang merenung seharian. Tapi kenyataannya, kemiskinan juga bisa menghibur—asal tahu caranya. Cukup ditata dengan baik, beri latar musik sedih, rekam dari angle yang menyentuh, lalu unggah ke media sosial.
Ada masa ketika penderitaan menjadi pelajaran. Lalu berkembang menjadi proposal. Kini, penderitaan telah berevolusi menjadi hiburan. Miskinotainment, bisa jadi itu istilah yang pas: semacam infotainment, tapi bintangnya manusia karung, manusia selang, atau manusia yang bersedih di tepi jalan, menunggu kamera sembunyi lewat.
Kadang muncul pertanyaan: orang-orang ini sebenarnya miskin, atau sedang mengikuti audisi sinetron sosial di jalanan?
Sulit membedakan mana realitas dan mana pertunjukan. Yang pasti, ketika kemiskinan menjadi tontonan, batas antara simpati dan eksploitasi menjadi kabur. Wajah melas bisa mendatangkan donasi. Tangisan bisa mendatangkan klik. Bahkan, semakin tragis ceritanya, semakin besar kemungkinan masuk FYP.
Lucunya, masyarakat pun ikut larut. Menonton sambil berlinang air mata, lalu share dengan caption: “MasyaAllah... Semoga kita lebih bersyukur.” Sambil sesekali melirik saldo e-wallet sendiri.
Kemungkinan banyak dari kita yang masih ingat cerita-cerita jenaka. Entah dari buku pelajaran, atau buku loakan. Dari sekian banyak kisah jenaka, akan sangat jarang—atau bahkan hampir tidak ada—tokoh-tokoh kisah jenaka tersebut lahir dari sosok yang kaya raya dan mapan secara ekonomi. Sebut saja Kabayan, Pak Pandir, Pak Belalang, atau Abu Nawas. Mereka semua miskin.
Mereka bukan orang terpandang. Tapi karena kemiskinan pula mereka jadi lucu. Karena hidupnya sempit, pikirannya harus luwes. Karena tak punya banyak pilihan, mereka jadi kreatif. Humor bukan hanya hiburan, tapi strategi bertahan hidup. Strategi untuk tidak patah hati setiap hari.
Dalam banyak kasus, tawa menjadi satu-satunya pelampiasan paling murah dari tekanan hidup. Di beberapa pelosok desa, orang tua melatih lidah mereka untuk melucu, bukan karena mereka pelawak, tapi karena itu satu-satunya hiburan gratis yang tersisa.
“Kerja apa sekarang?”
“Manajer utang. Aku yang ngatur cicilan, dia yang ngatur alasan.”
Tawa bukan selalu pertanda bahagia. Kadang, tawa adalah perlawanan terakhir sebelum kewarasan ikut raib.
Sejarah Islam mencatat sosok Nuaiman, sahabat Nabi yang terkenal jenaka. Ia sering membuat ulah, bahkan kadang menjengkelkan, tapi tetap dicintai Rasulullah. Suatu ketika ia membeli makanan dan berkata ke penjual, “Bayarnya ke Rasulullah.” Rasul pun tertawa dan tetap membayar. Di situ tampak bahwa kelucuan yang jujur lebih luhur dibanding manipulasi yang terencana.
Berbeda dengan masa kini, ketika lelucon kadang dirancang dengan skenario. Bahkan tangis pun bisa di-take ulang kalau belum meyakinkan.
Umberto Eco pernah mengkritik budaya kitsch, yakni emosi yang didaur ulang: sedih yang dibuat-buat, haru yang dibumbui, semua untuk menciptakan efek yang tak lagi murni. Sayangnya, dalam dunia digital, kitsch laku keras. Kemiskinan yang “asli” tidak terlalu menarik. Tapi jika dibumbui efek slow-motion dan musik sendu, donasinya bisa mengalir deras.
Jean Baudrillard menambahkan ironi lain melalui gagasan hiperrealitas: bahwa dunia yang ditampilkan di media kadang lebih “nyata” dibanding kenyataan itu sendiri. Di internet, seseorang bisa terlihat menderita dan mendapatkan simpati luas. Di kehidupan nyata, orang yang sama hanya akan dianggap malas atau merepotkan.
Maka, versi digital dari kemiskinan bisa menembus dompet banyak orang. Sementara versi nyatanya, masih sibuk mencari sambal sisa atau menawar cabe ke penjual keliling.
Namun, di antara semua ironi ini, masih ada yang bisa disyukuri: kemampuan untuk menertawakan nasib. Saat segalanya terasa berat, humor adalah jalan pintas untuk tetap waras. Hidup memang kadang terlalu absurd untuk disikapi dengan terlalu serius.
Dan ya, kadang... yang paling masuk akal dari kemiskinan adalah bisa menertawakan kemiskinan itu sendiri.
© khafi.id
Join the conversation