Ketika Kiyai (Harus) Takdzim kepada Wali Santri

Saat saya masih kelas 3 SD, bapak saya menitipkan saya kepada seorang kiyai yang menurut sebagian orang tidak sama dengan kiyai-kiyai lain. Banyak yang bilang, beliau sering melontarkan pendapat yang terdengar ganjil bagi telinga kebanyakan orang. Namun yang paling saya ingat bukan hanya ucapannya, melainkan caranya memperlakukan orang lain.
Beliau selalu menggunakan bahasa Jawa halus kepada siapa saja, bahkan kepada santri kecil seperti saya. Saat membangunkan salat subuh pun, beliau tak pernah berteriak dari luar kamar. Alih-alih membangunkan dengan suara lantang, beliau akan mendekati kami pelan-pelan, lalu dengan suara lembut berkata, “Kang, wancine subuh. Monggo jamaah.” Hanya itu. Tanpa nada memerintah. Tanpa memaksa. Tetapi entah mengapa, hati ini selalu merasa tersentuh dan segera tergerak untuk bangun.
Dalam kesederhanaan cara itu, saya belajar satu hal: kehormatan tidak tumbuh dari ketakutan. Ia tumbuh dari rasa dihargai. Dari kesadaran bahwa seorang kiyai, meski dihormati, tak pernah kehilangan kewajiban untuk memuliakan orang lain—bahkan santri paling kecil sekalipun.
Suatu hari, di majelis yang dihadiri para santri dan kiyai-kiyai lain, beliau menyampaikan sebuah petuah yang terdengar sederhana, tapi kalau direnungkan, terasa berat dijalani. Beliau berkata, seorang kiyai bisa kuwalat jika tidak takdzim kepada wali santri. Alasannya tegas: yang menjadikan seseorang berstatus kiyai bukan hanya ilmu atau garis keturunan, melainkan juga kepercayaan para wali santri yang menitipkan anak-anak mereka untuk dibimbing.
Kalimat itu menancap di benak saya. Sebab yang lebih sering kita dengar justru sebaliknya: penghormatan harus sepenuhnya mengalir ke atas. Para santri diajarkan takdzim tanpa batas. Orang tua diingatkan untuk selalu menunduk penuh hormat. Sedikit demi sedikit, penghormatan itu sering tumbuh menjadi sesuatu yang lebih mirip pengkultusan.
Kalau direnungi lebih jauh, inilah yang belakangan banyak terjadi di lingkungan pendidikan dan keagamaan. Sosok kiyai, guru, atau pemimpin perlahan menjelma menjadi figur yang tak boleh dipertanyakan. Kritik dianggap penghinaan. Keraguan disamakan dengan pembangkangan. Lama-lama, kebenaran hanya boleh keluar dari satu mulut saja.
Mungkin, di zaman terdahulu, bisa dimaklumi jika santri dan wali santri menghormati kiyai hingga sedemikian rupa. Sebab kiyai kala itu benar-benar orang-orang yang ahli mujahadah, tukang tirakat, dan tentu saja mencintai umatnya. Kehormatan tumbuh bukan karena semata-mata gelar atau penampilan, melainkan karena keteladanan yang sungguh-sungguh terpancar dalam keseharian.
Ya, meskipun masih ada satu atau dua kiyai yang seperti ini. Tapi biasanya kiyai semacam ini tidak viral dan malah terkesan remeh, sebab tidak se“bagus” kiyai pada umumnya. Kehadirannya kerap luput dari sorotan, seakan kalah pamor dari kiyai yang lebih pandai berpose atau lebih fasih memamerkan pengikut.
Di zaman ini, cult of personality tumbuh subur. Kehormatan tidak lagi lahir dari ketulusan, tetapi dari takut. Orang tak lagi berani menyapa tanpa basa-basi yang berlebihan. Tak berani menyodorkan pertanyaan, apalagi keraguan. Semua mesti tunduk, supaya tidak dianggap kurang ajar.
Padahal, tak ada jabatan, gelar, atau sebutan mulia yang berdiri sendiri. Seorang kiyai, guru, atau pemimpin hanya bisa berdiri tegak karena ada orang-orang yang rela menunduk. Ada keluarga yang bersedia menyerahkan anaknya untuk dididik. Ada masyarakat yang menaruh kepercayaan. Semua itu bukan pemberian abadi, melainkan titipan yang sewaktu-waktu bisa hilang kalau kesombongan tumbuh.
Kiyai yang saya ceritakan ini, entah bagaimana, tampak sangat menyadari itu. Beliau tidak sibuk menuntut takdzim, tidak sibuk menegaskan wibawa. Beliau justru mengingatkan diri sendiri—dan kiyai lain—untuk tetap eling pada asal-usul kehormatan. Bahwa takdzim yang sehat lahir dari cinta, bukan paksaan.
Mungkin, di balik keheningan petuah beliau, tersimpan pengingat sederhana: kehormatan tak akan pernah tumbuh kokoh bila hanya berdiri di atas takut. Ia hanya tumbuh jika akarnya merambat pada saling percaya, saling memuliakan, dan saling merendah.
Dan di zaman ketika pengkultusan semakin lazim, cerita ini barangkali terdengar ganjil. Tapi justru karena ganjil itulah ia pantas kita rawat dalam ingatan. Supaya kelak, ketika kita merasa paling pantas dimuliakan, kita masih sempat bertanya: siapa yang membuat kita layak dihormati? Dan apa yang akan tersisa ketika penghormatan berubah menjadi pemujaan?