Lingkaran Setan Kemiskinan
Saat si miskin membeli hasil kerja si miskin lainnya, sistem tetap berjalan. Kemiskinan jadi mata rantai yang saling menopang.
![]() |
Ilustrasi by Dreamina |
Saya punya dua anak. Seperti anak-anak pada umumnya, mereka senang jajan. Kalau melihat toko kelontong buka, sesekali mereka merengek, minta jajan. Saya, seperti biasa, memilihkan yang murah. Bukan karena pelit. Tapi karena cuma itu yang bisa saya jangkau.
Saya memilih yang murah bukan berarti saya sama sekali tidak tahu. Saya tahu bahwa di balik harga yang murah sering kali tersembunyi cerita muram. Produk-produk dengan harga terjangkau itu biasanya lahir dari tekanan: tekanan terhadap bahan baku, tekanan terhadap distribusi, dan tekanan terhadap tenaga kerja. Dan tenaga kerja itu, ya... orang-orang kecil juga. Mungkin tetangga kita. Mungkin kita sendiri, kalau sedang beruntung punya pekerjaan.
Satu kali, saya membeli es krim merek lokal yang sangat populer karena harganya bersahabat dengan kantong banyak orang. Rasanya cukup enak, bentuknya lucu, anak-anak suka. Tapi kemudian saya tahu—dari berita, dari media sosial, dari cerita teman—bahwa perusahaan di balik es krim itu pernah digugat. Bukan karena rasanya, tapi karena cara mereka memperlakukan buruhnya.
Jam kerja panjang. Gaji tidak layak. Kesehatan kerja diabaikan. Beberapa dari buruhnya bahkan perempuan hamil yang tetap disuruh mengangkat beban berat.
Saya diam.
Saya tidak langsung berhenti beli. Saya tidak ikut kampanye boikot. Saya bahkan tetap membeli es krim itu, dengan sedikit rasa bersalah, sambil menghibur diri, “Setidaknya anakku senang. Dan buruh itu masih bekerja. Daripada menganggur seperti saya.”
Hahaha... getir juga kalau ditertawakan.
Meskipun sempat ramai ajakan untuk memboikot produk ini, saya pura-pura tidak peduli. Dalam hati saya berdoa, “Ampuni saya, Tuhan. Saya sedang sibuk merasakan kemiskinan saya sendiri. Lapangkanlah mereka, para buruh yang telah ikut menunjang kemiskinan orang miskin lain, seperti saya.”
Kadang saya berpikir: mungkin ini yang dulu disebut Marx sebagai fetisisme komoditas (saya tidak ingat secara pasti pernah membacanya di buku apa). Kita tidak lagi melihat buruh, penderitaan, atau jam kerja berlebih di balik sebuah barang. Kita hanya melihat es krim. Harganya murah, tampilannya lucu, dan iklannya ceria. Segala relasi sosial yang keras di balik proses produksinya berubah jadi satu hal sederhana: barang jadi yang menyenangkan.
Itulah lingkaran setan kemiskinan.
Orang miskin membeli produk hasil eksploitasi orang miskin lainnya. Karena murah. Karena hanya itu yang bisa dijangkau. Dan sistem ini pun terus berputar, makin halus, makin canggih, makin tidak terasa.
Lucunya, kami ini korban sekaligus pelaku. Menopang sistem yang menindas kami, sambil berharap bisa keluar darinya.
Kadang ada orang yang bilang, “Kalau tahu itu eksploitasi, ya jangan dibeli. Kan bisa pilih yang lain.”
Ah, betapa mudahnya bicara dari dapur yang lebih luas. Pilihan itu tidak selalu tersedia di rak bawah. Di warung kecil tempat saya belanja, kadang hanya ada satu merek. Dan itu pun sudah mewah rasanya kalau bisa terbeli.
Jadi kami membayar produk yang murah dengan cara membiarkan kezaliman berjalan. Bukan karena kami setuju, tapi karena kami tidak bisa apa-apa. Dan bahkan saat kami tahu bahwa sistem ini bengkok, kami tidak bisa selalu memilih untuk menolak. Karena di tengah kemiskinan, idealisme sering dianggap sebagai kemewahan.
Kapitalisme tahu itu. Maka dia buat semuanya mudah, murah, dan merata. Dari kota sampai desa, dari minimarket sampai etalase pinggir jalan. Produk-produknya menyusup, menyamar, merakyat. Tapi di balik senyum boneka maskot dan iklan yang lucu, ada mesin besar yang melumat tubuh-tubuh yang tak punya pilihan.
Jadi kalau es krim itu terasa manis di lidah anak saya, saya tahu ada rasa pahit yang saya telan sendiri.
Dan hari esok pun datang. Anak-anak minta jajan lagi. Dan saya, entah untuk keberapa kalinya, kembali membeli dosa yang dikemas rapi dalam plastik beku.
©khafi.id
Join the conversation