Ketika Subsidi Menjadi Alat Menyiksa

Subsidi mestinya jadi penyelamat, tapi dalam kenyataannya justru jadi alat penyiksaan bagi rakyat kecil.

Dalam logika negara yang katanya pro-rakyat, subsidi mestinya jadi bentuk kasih sayang. Negara membantu warganya agar kebutuhan pokok bisa dijangkau semua kalangan, terutama yang paling lemah dalam tatanan ekonomi. Tapi dalam praktiknya, subsidi justru sering jadi cara paling halus untuk menyiksa.

Ambil contoh gas melon—si tabung hijau 3 kg yang katanya hanya untuk rakyat kecil. Katanya.

Dalam beberapa minggu terakhir, gas ini menghilang di banyak tempat. Kalaupun ada, harganya bisa dua kali lipat dari harga eceran tertinggi (HET). Warung-warung kecil yang hidupnya menggantungkan dari kompor pun mulai goyah. Sementara keluarga-keluarga di gang-gang sempit terpaksa antre, atau kembali ke kayu bakar.

Ironisnya, gas ini sering tak hilang dari dunia. Ia hanya berpindah tangan: dari rakyat kecil ke gudang para penimbun. Mereka yang punya modal dan jaringan, menimbun untuk nanti menjual kembali dengan harga tinggi. Negara tak selalu absen—kadang justru ikut menikmati permainan ini lewat birokrasi yang rumit, pengawasan yang longgar, dan regulasi yang tak menyentuh akar masalah.

Kita bisa membayangkan, betapa peliknya nasib rakyat kecil: sudah hidup susah, dibantu pun masih disiksa. Subsidi yang mestinya jadi hak, justru diperlakukan seperti sedekah atau bahkan jebakan.

Dalam banyak kasus, bukan negara yang secara langsung mencabut bantuan, tapi sistem yang dibiarkannya rapuh dan mudah dimanipulasi oleh mereka yang kuat. Maka jangan heran jika subsidi justru lebih sering dinikmati mereka yang tak butuh: para pemilik restoran besar, hotel, atau industri rumah tangga kelas menengah ke atas.

Sementara itu, rakyat kecil—yang disebut-sebut sebagai sasaran utama—harus puas dengan antrean panjang, harga melambung, dan kadang, hanya harapan kosong dari media: “Pasokan aman, masyarakat diminta tidak panik.”

Tapi bagaimana tidak panik kalau pagi belum masak, dan siang belum tentu ada gas?

Masih beruntung, kalau yang jadi rakyat itu adalah rakyat pedesaan—yang dapurnya belum dibongkar, tungku kayunya masih bertahan di sudut belakang rumah. Masih ada pilihan: pergi ke kebun, memungut ranting, atau membeli seikat kayu di pasar. Masih ada tanah untuk membakar, dan ruang untuk bertahan.

Tapi bagi rakyat kota, yang hidup di rumah petak atau kamar sewa, dapur saja kadang hanya cukup untuk menaruh kompor satu tungku. Kayu bakar bukan pilihan. Mau bakar di mana? Asapnya ke mana? Kadang jendela pun tak punya. Dapur modern yang katanya lambang kemajuan itu ternyata rapuh luar biasa. Sekali gas melon lenyap, seluruh kehidupan bisa lumpuh.

Dan begitulah: subsidi gas melon menjadi semacam jebakan yang sistemik. Seolah-olah rakyat dibantu, padahal sesungguhnya dibuat tergantung pada sesuatu yang tidak pasti. Rakyat dilatih untuk percaya pada kemurahan negara, tapi ditinggalkan saat barangnya tak sampai.

Kalau subsidi tak bisa dijalankan dengan adil, lebih baik jangan dibuat-buat. Sebab niat baik yang tidak dikelola dengan benar, hanya akan menambah luka. Dan setiap luka dari kebijakan negara, selalu menganga lebih dalam di tubuh rakyat kecil.


©khafi.id