Hukum atau Aparat Kita yang Baperan?
Ada sesuatu yang agak lucu, kalau tidak mau disebut ironis, dari kasus yang menimpa Ferry Irwandi belakangan ini. Seorang jenderal TNI dari satuan siber mencoba melaporkan dirinya ke polisi karena dianggap mencemarkan nama baik institusi. Tetapi Polda Metro Jaya, dengan tenang, menegaskan: maaf, institusi tidak bisa melapor. Hanya individu yang boleh.
Di titik ini, kita seolah sedang menyaksikan drama hukum yang aneh. Satu pihak ingin menutup mulut seorang kritikus, pihak lain mengingatkan bahwa aturan tidak bisa dipakai sembarangan. Jadilah sebuah tontonan yang sebenarnya tidak perlu terjadi kalau kritik dipahami sebagai bagian dari kehidupan publik.
Masalahnya memang klasik: setiap kritik tajam terhadap lembaga negara sering dianggap sebagai pencemaran nama baik. Padahal, bukankah lembaga publik seharusnya siap dikritik? Bukankah keberadaan mereka justru untuk melayani masyarakat, bukan sebaliknya? Putusan Mahkamah Konstitusi sudah jelas: pencemaran nama baik hanya bisa dilaporkan oleh perorangan. Kalau sebuah institusi boleh melapor, maka hampir semua kritik bisa dibungkam. Bayangkan, setiap komentar pedas tentang layanan publik, kinerja aparat, atau kebijakan negara, bisa berujung pidana. Apakah kita mau hidup dalam suasana seperti itu?
Ferry Irwandi sendiri memilih sikap yang lugas: ia tidak lari. Bahkan ia mengatakan bahwa “ide tidak bisa dibunuh atau dipenjara.” Sebuah kalimat yang terdengar puitis, tapi sekaligus menohok. Orang boleh ditakut-takuti, tapi gagasan tidak pernah bisa benar-benar dipadamkan. Justru dengan ancaman hukum, ide itu makin mendapat panggung.
Di sinilah letak pentingnya keberanian. Jika satu orang berani bersuara, maka orang lain akan tahu bahwa kritik itu mungkin dan sah untuk dilakukan. Generasi berikutnya tidak boleh tumbuh dengan rasa takut mengeluarkan pendapat hanya karena ada risiko dianggap melawan institusi. Sebab, tanpa suara kritis, kita hanya akan mewarisi budaya diam—dan budaya diam itu sama saja dengan mewariskan kebodohan.
Anak-anak yang kini belajar membaca berita, menonton perdebatan di televisi, atau berselancar di media sosial, perlu melihat bahwa kritik adalah bagian dari kewarasan hidup bernegara. Mereka harus tahu bahwa menyuarakan kegelisahan bukanlah dosa, melainkan tanggung jawab. Kalau generasi sekarang bungkam, generasi mendatang akan belajar bahwa diam adalah cara selamat. Padahal, justru dari keberanianlah kita bisa melangkah lebih jauh.
Kasus ini juga memperlihatkan bagaimana TNI, yang selama ini dikenal sebagai institusi kuat di ranah fisik, tampak kikuk ketika masuk ke ranah digital. Ketika berhadapan dengan kritik di media sosial, respon yang muncul malah terkesan terlalu personal. Padahal, ruang digital adalah tempat di mana wibawa tidak dibangun lewat seragam, tetapi lewat argumen dan data. Di sini, kekuatan bukan diukur dari pangkat, melainkan dari seberapa rasional dan transparan jawaban yang diberikan.
Yang terjadi kemudian lebih seperti kemenangan sipil yang setengah hati. Kritik tidak sepenuhnya diterima, tapi juga tidak bisa dibungkam karena hukum tidak memberi ruang bagi institusi untuk menjadi pelapor. Hasilnya: kritik tetap ada, laporan tidak berjalan, dan kita semua belajar satu hal: bahwa kebebasan berekspresi di negeri ini masih bergantung pada celah hukum, bukan pada pengakuan tulus bahwa kritik adalah vitamin demokrasi.
Mungkin ada baiknya kita berhenti menganggap kritik sebagai ancaman. Ia justru pengingat bahwa kekuasaan selalu butuh diawasi. Kalau semua kritik dianggap pencemaran, yang tersisa hanyalah pujian palsu—dan itu jauh lebih berbahaya daripada kata-kata pedas seorang warga.
Join the conversation