Kitsch dalam Gabah



Kadang kita terlalu sibuk membicarakan hal-hal besar: Marhaenisme, sosialisme, komunisme, eksistensialisme, dan segala macam isme yang terdengar luhur. Kita mengutip tokoh-tokoh besar, menimbang nasib rakyat, membicarakan sistem ekonomi yang adil dan manusiawi—sementara lupa pada sesuatu yang sederhana: bahwa tai kita pun berawal dari gabah seperti ini.

Gabah yang dijemur di atas terpal biru, di halaman rumah, di bawah panas matahari. Ia tak pernah ikut rapat filsafat, tak pernah tahu Lenin atau Sartre, tapi dari tubuhnya lahir nasi yang membuat manusia kuat berdebat soal dunia. Di situ ada ironi yang halus—tentang betapa manusia pandai mencipta jarak antara kenyataan dan pikiran, antara sumber kehidupan dan kata-kata yang dipakai untuk menjelaskannya.

Umberto Eco menyebutnya "kitsch". Yakni ketika sesuatu yang seharusnya alami dan jujur, berubah menjadi tiruan yang indah—seolah bernilai, padahal hanya bayangan dari makna yang pernah nyata. Kita berbicara tentang penderitaan rakyat, tapi jarang menengok petani yang menjemur gabah di belakang rumah. Kita bicara soal keadilan, tapi lupa membayar beras dengan harga pantas.

Mungkin karena itu, foto gabah ini terasa menampar dengan lembut. Ia tidak berteriak, tidak menuduh. Hanya diam di atas terpal biru, menunggu dijemur, digiling, dimasak, dan akhirnya kembali ke tanah lewat tubuh kita.

Dan di titik itu, semua "isme" yang kita agung-agungkan mungkin tak lebih dari "kitsch" yang rapi.

😁

© khafi.id

Post a Comment for "Kitsch dalam Gabah"