Jalan Panjang Menuju Benelli


When you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it.
Paulo Coelho.

Begitu katanya. Indah sekali. Menghangatkan hati.

Walau dalam praktiknya, semesta sering menatap balik sambil bilang:

“iyo, tapi tabunganmu piro dhisik?”

Ada orang yang memulai mimpinya dengan modal besar, seminar mahal, dan buku motivasi setebal batu nisan. Tapi ada juga yang memulai dari sesuatu yang lebih sederhana: getun bayar kopi lima ribu.

Di situlah perjalanan ini biasanya muncul, dari sudut-sudut kecil hidup yang rasanya tidak pernah benar-benar siap diajak bermimpi besar. Dengan dompet yang lebih sering sepi daripada jalan desa pas Isya, muncul tekad mulia: “Nabung ah… beli ASUS TUF.” Sebuah laptop kekar, gagah, yang katanya bisa untuk desain, kerja, gaming, dan tentu saja pura-pura produktif di warung kopi—dengan harapan bermodal TUF ini bisa naik haji. Amiin…

Perhitungan ekonominya jelas kejam:

Tabungan awal 200 ribu—yang inipun sudah kepotong 20 ribu untuk beli bensin—sementara harga laptop tembus belasan juta.

Kalau nabung seribu sehari, laptop itu akan terbeli tepat saat cucu pertama lahir.

Tapi manusia tidak hidup dari matematika saja. Ada unsur optimisme nekat yang kadang lebih kuat dari logika. Maka tekad itu jalan terus: kerja pelan-pelan, ngirit kopi, ngirit bensin Supra (bukan Toyota, tapi Honda), sambil berharap dunia mengapresiasi usaha kecil ini.

Jika ASUS TUF akhirnya terbeli—entah nyata atau hanya sebagai angan-angan yang terus dipupuk—perjalanan berlanjut ke level lebih tinggi: mengumpulkan uang untuk Haji. Ini bukan sekadar mimpi spiritual, tapi juga harapan ekonomi yang entah bagaimana terasa lebih mungkin jika disampaikan di Tanah Suci.

Bayangkan, dari kopi lima ribu melompat ke ibadah puluhan juta. Ini bukan lompatan iman—ini lompatan finansial yang harusnya mendapat standing ovation dari para malaikat pencatat amal.

Namun siapa yang tahu? Rezeki bisa datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Mungkin dari desain TUF yang meledak, mungkin dari kerja sampingan, mungkin dari keberkahan hidup. Dan tibalah di titik itu: berdiri di depan Ka'bah, hati hening, udara tenang, dan doa perlahan naik tanpa hambatan sinyal.

“Ya Allah…

Jika Engkau berkenan…

Selain ampunan dan keberkahan…

Tambahi hamba sedikit rezeki…

Biar pulang-pulang bisa beli Benelli yang knalpotnya kembar dan suaranya merdu.”

Doa sederhana. Jujur. Manusiawi. Tidak ada yang muluk.

Hanya hamba yang ingin roda duanya naik kasta sedikit.

Dan tepat saat doa itu terasa melambung tinggi—mungkin sudah mau lewat langit ketujuh—realitas datang dengan cara paling lumrah dan paling membumi.

“Masss… umbahane entasono…”

Suara mbak bojo dari dapur, lantang dan jelas, sebab mendung sudah mulai tebal. Dalam sekejap, Mekah hilang, Benelli menguap, TUF padam.

Gragap… gragap tangi turu.

Dan buyarlah seluruh mimpi itu.

Mengusap wajah, menelan sisa mimpi, sambil tersenyum konyol:

Ah, begitulah hidup. Setiap kali mau naik kelas, ada saja tangan realitas yang mencolek: “ojo kakean ngayal, ndang nyapo.”

Tapi tidak apa-apa.

Besok bisa mimpi lagi.

Dan siapa tahu—walau kemungkinannya tipis sekali—besok mbak bojo teriaknya beda:

“Masss… ana rejeki nomplok… ayo tuku TUF susuke tukokke Benelli!”

© khafi.id

Post a Comment for "Jalan Panjang Menuju Benelli"