Kiai Pagar Betis OTT
Belakangan ini Ponorogo terasa seperti sedang mengalami sesuatu yang sulit dijelaskan. Tidak meledak, tidak gaduh, tetapi ada semacam keganjilan yang berputar-putar di kepala saya. Sejak kabar OTT yang menyeret nama Bupati—entah sudah eks atau masih menjabat secara administratif—obrolan di warung kopi mulai berubah. Ada yang santai, ada yang lucu, tapi tidak sedikit yang meninggalkan rasa tidak nyaman.
Semua ini mencapai puncaknya ketika sebuah acara doa bersama digelar untuk mendukung Kang Giri. Semua orang Ponorogo tentu sudah tahu siapa sosok ini, dan sebagian lainnya juga tahu betul bahwa beliau bukan hanya pejabat pemerintah, tetapi juga bagian dari organisasi keagamaan besar di daerah ini.
Acara itu sebenarnya bisa lewat sebagai kegiatan biasa—semacam ekspresi simpati atau dukungan moral. Tidak ada yang terlalu spesial. Namun yang menjadikannya sedikit aneh—dan kalau boleh jujur, sedikit konyol—bukanlah kerumunan atau benderanya, melainkan satu momen: hadirnya seorang kiai.
Bukan kiai kampung yang namanya hanya dikenal jamaah mushola pojok desa. Bukan pula pendakwah tarkam musiman yang hanya muncul menjelang bulan maulud atau rojab. Ini kiai dengan posisi strategis dalam organisasi keagamaan besar; kiai yang selama ini dipandang sebagai rujukan moral dan penentu arah nurani umat.
Dan di titik itulah saya agak ndomblong. Karena doa di panggung bukan lagi doa. Ia pesan.
Lalu muncul kasak-kusuk di akar rumput. Beberapa jamaah mengaku menerima ajakan—bukan perintah resmi, tentu saja—untuk hadir dalam acara tersebut. Tidak diumumkan di pengeras suara masjid. Tidak dibahas dalam rapat organisasi. Tetapi dibisikkan dengan kalimat penuh tanda baca yang tidak tampak, semacam ini:
“Iki penting. NU kudu ono sing mbelani.”
Ada yang datang. Ada yang pura-pura tidak dengar. Mungkin ada juga yang tiba-tiba rajin menjaga ternak pada hari acara, meski biasanya hanya dicek dua hari sekali.
Yang menarik bukan hanya apa yang terjadi, tetapi bagaimana cara masyarakat menafsirkannya. Ada yang merasa ini bentuk solidaritas, ada yang menyebutnya wajar, tetapi tidak sedikit yang bertanya dalam hati: sejak kapan kiai turun panggung bukan untuk meredam kekacauan, tetapi untuk menjadi pagar betis politik?
Pertanyaan ini bukan untuk menghina, apalagi merendahkan. Justru lahir dari kegelisahan yang tulus: apakah jabatan moral bisa berdiri sejajar dengan loyalitas politik tanpa salah satu terkorbankan?
Kita semua paham bahwa manusia punya hubungan, perasaan, jaringan sosial, dan utang budi. Tetapi kita juga diajari sejak kecil bahwa ulama berada di posisi yang lebih tinggi bukan karena kedudukannya, melainkan karena jaraknya dari segala kepentingan dunia.
Mungkin pada titik ini, Ponorogo tidak sedang mempertanyakan benar atau salah. Bukan pula membicarakan individu secara personal. Tapi masyarakat sedang menguji satu hal yang lebih mendasar:
Masihkah kiai menjadi penjaga jarak antara kekuasaan dan kebenaran?
Atau, pelan-pelan, tanpa disadari, posisi itu mulai berubah menjadi bagian dari strategi mempertahankan kekuasaan?
Jika benar, mungkin bukan hanya Kang Giri yang sedang diadili.
Tapi cara kita beriman.
Cara kita percaya.
Dan cara kita memberi makna pada kata kiai.
Karena bagi sebagian orang, doa itu bukan lagi pembelaan moral.
Doa itu pesan politik.
Dan pesan itu—sayangnya—didengar jauh lebih keras daripada “amin”-nya.

Post a Comment for "Kiai Pagar Betis OTT"
Post a Comment
Segala bentuk komentar bukan tanggung jawab pemilik situs ini.