Sugiri dan Korupsi di Negara Ini
![]() |
Beberapa waktu yang lalu, Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko, tertangkap tangan oleh KPK karena kasus suap jabatan. Oh tentu saja bukan hanya Sugiri, tapi juga beberapa pejabat lain di lingkungan Pemkab. Dan tentu saja, bukan hanya di Ponorogo—bisa jadi di kabupaten-kabupaten lain... se-Indonesia.
Kasus seperti ini membuat banyak orang kaget, marah, lalu pelan-pelan terbiasa. Dalam hitungan minggu, isu besar itu akan tenggelam, digantikan berita lain yang lebih segar. Kita menertawakan, mencaci, lalu melanjutkan hidup seolah tak ada apa-apa. Padahal, setiap tertangkapnya pejabat adalah cermin yang memperlihatkan betapa dalamnya lumpur yang sudah kita anggap biasa.
Seorang teman pernah berkata bahwa: “Menjadi kamituwa saja harus memberi lemek tujuh puluh lima juta.”
“Lemek” di sini bukan kain alas, tapi kata ganti halus untuk “suap”.
Tentu tidak semua begitu, tapi... ya, mungkin tujuh puluh lima persen dari keseluruhan calon kamituwa di Indonesia melakukannya—entah atas permintaan “panitia”, entah karena dorongan atasan, atau mungkin karena kebiasaan itu sudah menjadi moral kita bersama.
Kabar semacam itu bukan rahasia; ia beredar dari warung ke warung, dari obrolan sopir ke pegawai—seperti kebenaran yang semua tahu tapi pura-pura dilupakan.
Maka ketika seorang bupati tertangkap karena jual beli jabatan, itu bukan kejutan; hanya konsekuensi dari budaya yang sudah lama kita pelihara bersama.
Kita sering mengira korupsi itu soal individu: siapa yang tertangkap, berapa uang yang disita, apa jabatannya. Padahal, kalau mau jujur, korupsi itu sudah jadi semacam bahasa sosial. Ia menjadi tata krama baru yang tanpa sadar kita pelajari sejak lama—cara “menghormati” atasan, cara “mempercepat urusan”, atau cara “berterima kasih” pada pejabat.
Seperti kata Pierre Bourdieu, “Hal yang paling mendasar tidak perlu diucapkan, karena memang sudah terbentuk tanpa perlu diucapkan.” Sesuatu yang dianggap wajar, tidak lagi perlu dijelaskan. Ia sudah bekerja diam-diam dalam tubuh masyarakat, menjadi kebiasaan yang tak disadari, tapi terus direproduksi. Maka, praktik memberi lemek tujuh puluh lima juta itu bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan bagian dari “tata krama birokrasi” yang lahir dari kebiasaan panjang: membayar hormat dengan uang, membeli kepercayaan dengan amplop.
Oh iya, saya lupa. Soal KPK yang OTT hanya lima ratus juta, rasanya kok seperti Komisi Amatiran. Tapi, salah tetaplah salah dan korupsi tetaplah korupsi. Meski kecil nilainya, tetap mencerminkan kebiasaan yang jauh lebih besar—bahwa jabatan bisa diperdagangkan, dan kekuasaan bisa dinegosiasikan.
Dan, percayalah, di luar sana masih banyak yang nilainya di atas lima ratus juta. Jangan hanya karena “kejar target”, KPK puas dengan angka segitu. Kalau berani, tangkap yang triliunan sekalian. Kalau mau adil, datanglah juga ke pejabat-pejabat desa yang “nyuap-nyuap” itu. Karena kejahatan tak selalu berwajah jas dan dasi; kadang ia memakai seragam sederhana, menyapa sopan, tapi tetap saja mengatur harga sebuah jabatan.
Kita sering diajari bahwa kejujuran adalah dasar dari segalanya. Di sekolah, di rumah, di mimbar-mimbar ibadah—kata itu diulang seperti mantra. Tapi di luar tembok pengajaran, kejujuran justru tampak seperti lelucon. Orang jujur sering kalah lebih dulu, bahkan sebelum sempat berbuat apa-apa.
Mungkin itulah yang membuat banyak orang berhenti percaya. Kejujuran dianggap mulia, tapi tidak relevan. Seperti benda antik yang dipajang di ruang tamu: indah untuk diceritakan, tapi tidak untuk dipakai. Kita memuji orang jujur di media sosial, tapi di kantor atau di jalan raya, kita sendiri mencari jalan pintas.
Pelan-pelan, negeri ini belajar menjadi sinis. Kita tertawa pada orang yang idealis, menuduhnya naif. Kita menasihati anak-anak agar jujur, tapi dalam hati berdoa semoga mereka juga “pintar menyesuaikan diri.” Kejujuran kehilangan tempatnya bukan karena kalah oleh keburukan, tapi karena ditinggalkan oleh realisme yang terlalu cepat menyerah.
Namun, tetap ada harapan—walau kecil, walau samar. Mungkin kejujuran hari ini tak lagi berdiri di podium, tapi masih hidup di ruang-ruang kecil: di hati para guru yang menolak amplop, di petugas yang tak mau “uang terima kasih,” di anak muda yang tetap menulis laporan sesuai kenyataan meski tahu risikonya. Mereka mungkin kalah dalam sistem, tapi menang dalam nurani.
Dan mungkin, di sanalah negeri ini masih punya kesempatan: bukan pada pejabat yang ditangkap, tapi pada orang-orang yang diam-diam masih percaya bahwa bersih itu mungkin, meski tampak mustahil.
Atau setidaknya, pada diri masing-masing dari kita yang masih memelihara rasa malu—rasa malu untuk mengambil yang bukan haknya, rasa malu untuk menipu demi jabatan, rasa malu untuk pura-pura tidak tahu saat ketidakjujuran menjadi kebiasaan.
Karena di negeri yang sinis, kejujuran sering tampak bodoh. Tapi barangkali, hanya dari kebodohan semacam itulah sesuatu yang waras bisa tumbuh kembali.
Dan yang sulit, sebenarnya bukanlah menjadi kaya, tapi merasa cukup. Sebab korupsi selalu lahir dari rasa kurang yang tak berujung.

Post a Comment for "Sugiri dan Korupsi di Negara Ini"
Post a Comment
Segala bentuk komentar bukan tanggung jawab pemilik situs ini.