Sugiri itu NU, Tapi NU (mestinya) Bukan Sugiri dan Sugiri Bukan Bos Saya...!

Masih hangat kabar soal OTT Bupati Ponorogo. Kemarin—atau mungkin sudah beberapa hari yang lalu—saya sempat berbalas pesan dengan seorang kawan. Ia menulis begini: “Sugiri NU, bosmu to...?”

Saya tahu itu hanya candaan. Tidak ada yang perlu tersinggung. Saya malah tersenyum—sedikit kecut. Tapi agar jelas, Sugiri bukan bos saya. Saya kenal dia tapi dia tidak kenal saya, karena siapa pun yang tinggal di Ponorogo pasti tahu siapa bupatinya. Tapi bukan berarti saya anak buahnya. Kalau mau dibalik justru, dalam urusan politik, rakyatlah yang seharusnya jadi bos. Maka, kalau mau adil, saya justru bosnya Sugiri (tapi saya tidak mau ikut-ikutan tersangkut urusan KPK, sekalipun hanya menjadi saksi).

Dari pesan singkat itu, entah kenapa muncul kegelisahan kecil dalam diri saya: tentang NU, tentang kekuasaan, dan tentang beberapa kasus korupsi yang melibatkan orang-orang yang (katanya) bagian dari NU—yang jelas bukan dari kalangan kelas bawahnya NU.

Sugiri memang NU. Tapi NU bukan Sugiri.

Dan Sugiri jelas bukan bos saya.

Dan saya tahu, Sugiri memang orang NU. Namanya tercatat dalam jajaran pengurus cabang. Tapi dengan kondisi seperti ini, tentu tidak serta-merta bisa disebut bahwa Sugiri adalah wajah NU secara keseluruhan. Ia hanyalah satu orang yang kebetulan berada di lingkar organisasi itu—bukan cerminan utuh dari nilai-nilai yang (mestinya) dijaga NU.

Sugiri korupsi? Iya. Karena terbukti tertangkap KPK. Kalau mau adil, Sugiri juga anggota—bahkan pengurus—di salah satu partai. Tapi saya yakin, partai itu pun tak akan senang jika disebut-sebut atau diikutsertakan dalam kasus korupsi ini dan partai tersebut juga tidak mau jika Sugiri diajdikan representasi dari partai tersebut, apalagi NU.

Aneh memang. Ketika seseorang berbuat baik, lembaganya ikut bangga. Tapi ketika seseorang berbuat salah, lembaganya buru-buru merasa tidak kenal. Kita seolah punya dua timbangan moral: satu untuk mengklaim kehormatan, satu lagi untuk menghindari aib.

** Dan sependek pengetahuan saya, sampai sekarang NU cabang masih diam. Tidak ada pernyataan apa pun soal anggotanya yang terkena OTT. Padahal, yang bersangkutan bukan sekadar anggota, tapi bagian dari jajaran ketua. Diam yang mungkin bermakna banyak—entah kehati-hatian, entah kebingungan, atau sekadar menunggu arah angin.

Padahal kalau dipikir, lembaga—baik itu ormas, partai, atau bahkan negara—tidak pernah benar-benar bersalah atau benar. Yang bersalah dan benar itu selalu manusia. Tapi manusia sering bersembunyi di balik nama besar lembaga, supaya kalau jatuh, jatuhnya ramai-ramai.

Dan di sinilah, mungkin, NU perlu diingatkan kembali (ya, meskipun saya sangat tidak pantas mengingatkan NU): bahwa menjadi NU bukan soal tercatat di struktur, melainkan soal meneladani nilai. Bahwa menjadi nahdliyin bukan perkara mengenakan kopiah, bersarung, atau ikut kegiatan, tapi meneladani akhlaqul karimah yang diajarkan para pendirinya.

Karena kalau ukuran ke-NU-an hanya diukur dari kartu anggota, maka siapa pun bisa NU—bahkan yang korup pun bisa. Tapi kalau ukuran itu adalah amanah dan kejujuran, maka bisa jadi banyak di luar sana yang lebih NU daripada yang mengaku NU.

Karena pada akhirnya, kehormatan tidak bisa diwariskan lewat organisasi. Ia hanya bisa dijaga oleh tindakan. Sama seperti kejujuran: tidak bisa diwakilkan, tidak bisa diborong, dan tidak bisa dibungkus dengan nama besar apa pun.

Banyak dari kita barangkali masih terjebak pada keyakinan bahwa identitas itu cukup untuk menjamin kebaikan. Seolah kalau seseorang sudah “NU”, “santri”, atau “umat”, maka otomatis suci dari khilaf. Padahal, sejarah tidak pernah berpihak pada yang punya label. Ia berpihak pada yang jujur.

Dan mungkin di situlah NU—dan kita semua—perlu belajar rendah hati: bahwa agama tidak menanggung dosa anggotanya, dan organisasi tidak otomatis suci hanya karena banyak orang baik di dalamnya. Sebab yang membuat harum bukan nama besar lembaga, tapi ketulusan orang-orang kecil yang tetap bekerja diam-diam tanpa kamera dan baliho.

Sugiri hanyalah contoh kecil dari penyakit besar yang sering kita abaikan: rasa aman di balik bendera. Kita merasa tak mungkin salah, karena mengusung nama yang besar. Tapi justru di sanalah kesalahan sering tumbuh—di ruang yang terlalu yakin, terlalu ramai dengan simbol, tapi sepi dari rasa malu.

Dan lagi-lagi, yang sulit bukanlah menjadi kaya, tapi merasa cukup. Sebab dari sanalah korupsi sering lahir—dari perut yang kenyang, tapi hati yang tetap lapar. Dari tangan yang penuh, tapi jiwa yang tak pernah puas.


Mbah Hasyim, nyuwun pangapunten.

Banyak orang yang mengaku santrine panjenengan masih tergiur dan terlena gemerlapnya dunia. Mereka lupa, dan terperosok di jalan yang dulu justru engkau peringatkan.

Mungkin kami terlalu sibuk mengulang namamu, tapi lupa meneladani laku hidupmu. Terlalu sering mengutip pesanmu, tapi jarang menepatinya. Kini, ketika satu demi satu nama besar jatuh, kami baru sadar: yang benar-benar besar bukanlah jabatan atau ormas, tapi kesanggupan menjaga hati tetap jujur dalam kesunyian.

© khafi.id

Post a Comment for "Sugiri itu NU, Tapi NU (mestinya) Bukan Sugiri dan Sugiri Bukan Bos Saya...!"