Elit NU Vs NU kampungan
Konon, tidak ada ujian karakter yang lebih telanjang selain ketika seseorang bersentuhan langsung dengan kekayaan. Bukan kekayaan dalam makna spiritual yang sering dipidatokan, tetapi kekayaan yang bisa ditimbang, dicatat, dan—kalau hati sedang gelap—dipindahkan diam-diam tanpa banyak tanya. Di titik inilah kata-kata bijak Tiongkok kuno terasa relevan: “Jika ingin mengenal seseorang, beri ia kekuasaan; jika ingin mengenal jiwanya, beri ia harta.” Dan benar saja, begitu angka-angka mulai masuk ke meja perhitungan, topeng-topeng pun pelan-pelan retak: yang tadinya ramah berubah kaku, yang dulu santun mendadak cerewet, dan yang paling sering bicara soal moral justru paling ahli menyelipkan kepentingan. Sementara itu, di luar lingkaran ribut-ribut semacam itu, jamaah kelas bawah NU tetap menjalani hari seperti biasa—tahlilan, rewang, ronda, bekerja tanpa banyak tanya. Mereka tidak peduli siapa sedang memperebutkan apa; sebab bagi mereka, hidup sudah cukup rumit tanpa perlu menambah drama. Yang mereka tahu hanya satu kata sederhana, warisan dari para kiai desa: mengabdi.
Ada satu hal yang selalu berhasil membongkar jati diri manusia tanpa perlu alat pendeteksi kebohongan, tanpa perlu sumpah pocong, bahkan tanpa perlu forum bahtsul masail: kekayaan. Begitu urusan menyentuh tanah, tambang, dana ratusan miliar, atau apa pun yang dalam bahasa halus disebut “optimalisasi aset”, manusia tiba-tiba berubah bentuk. Yang tadinya khusyuk, bisa mendadak sibuk. Yang tadinya merakyat, tiba-tiba lebih senang rapat. Yang tadinya bicara perjuangan, mendadak lupa jalan pulang.
Begitulah tabiat kita sebagai makhluk spiritual yang kadang lebih cepat bergetar ketika mendengar kata “miliar” daripada “Allahu Akbar”.
Dan, anehnya, krisis ini justru tidak terlalu mengguncang warga NU kelas bawah—mereka yang setiap hari bangun sebelum subuh, membuka warung, menjaga masjid, mengirim anaknya ke madrasah, dan tidak pernah bertanya kapan rapat pleno PBNU dimulai atau siapa yang merebut konsesi tambang. Mereka hanya tahu satu kata yang diwariskan turun-temurun: mengabdi.
Jamaah akar rumput NU hidup dalam dunia yang sederhana: tahlilan tetap jalan, manaqiban tetap berputar, yasinan tetap diikuti, dan acara-acara sosial tetap berlangsung seperti tidak ada apa-apa. Bahkan ketika media menampilkan drama elite, jamaah hanya mengerling sambil berkata, “Lha wong zamane pancen ngono. Sing penting, acara malam Jumat tetap lanjut.”
Sementara itu di tingkat atas, panggungnya berbeda. Setiap kursi tampak empuk, setiap keputusan tampak genting, dan setiap tanda tangan terlihat seperti tiket menuju kehormatan. Atau, kalau sial, tiket ke KPK. Di ruang elit, konflik tampak suci: diselimuti dalih “menjaga marwah organisasi”, padahal kadang cuma soal siapa yang memegang peta tambang dan siapa yang memegang kalkulatornya.
Karakter asli manusia, kalau kata orang tua dulu, tidak diuji ketika ia miskin. Justru ketika ia berpeluang kaya. Kemiskinan menundukkan kepala, kekayaan menyingkap topeng. Dan entah kenapa, setiap kali organisasi besar mendapat jatah “kue” tambang atau dana jumbo, acara buka-topeng ini selalu dimulai. Seolah-olah kita sedang menonton opera komedi yang selalu diulang dari generasi ke generasi, hanya dengan pemain yang berbeda.
Yang membuat kondisi ini terasa makin lengkap adalah kenyataan bahwa jamaah bawah tidak pernah benar-benar ikut ribut. Mereka terlalu sibuk bekerja, terlalu lelah hidup, dan terlalu tulus beragama untuk ikut menghitung konsesi tambang sebanyak 26 ribu hektare. Mereka tidak punya energi untuk memikirkan audit, laporan keuangan, atau siapa yang sedang mendadak “rela berkhidmat” karena satu dua rekening tiba-tiba gemuk.
Mereka percaya NU itu besar bukan karena para elitenya, tetapi karena doa orang-orang kecil yang sepanjang hidupnya bahkan tidak tahu bahwa organisasi yang mereka cintai sedang diguncang drama.
Maka, ironi terbesar dari semua ini adalah:
yang bertengkar adalah para pengelola kekayaan,
yang mencintai NU tanpa syarat adalah mereka yang tidak punya apa-apa.
Jika konflik ini terus memanas, jamaah bawah tetap tidak akan peduli. Mereka hanya akan berkata dengan enteng, “Wis bene, wong urip pancen kebak cobaan.” Lalu besoknya, mereka kembali menggoreng tempe, memukul bedug magrib, menyapu halaman masjid, atau menyiapkan teh untuk pengajian—karena begitulah cara mereka menjaga NU: diam, sederhana, dan nyaris tanpa pamrih.
Sementara di atas sana, orang-orang besar masih sibuk menunjukkan siapa yang paling benar, siapa yang paling bersih, siapa yang paling NU, dan siapa yang paling pantas duduk di kursi itu. Tidak ada yang salah, tentu saja. Hanya saja lucu melihat bagaimana kata “mengabdi” bisa punya makna yang sangat berbeda, tergantung siapa yang mengucapkannya.
Di mulut jamaah kecil, “mengabdi” berarti melayani.
Di bibir sebagian elite, “mengabdi” kadang berarti… ya, Anda tahu sendiri.

Post a Comment for "Elit NU Vs NU kampungan"
Post a Comment
Segala bentuk komentar bukan tanggung jawab pemilik situs ini.