Ingin Masuk ke Gambar
Saya masih ingat salah satu gambar yang membekas. Seorang anak perempuan duduk bersama adik laki-lakinya. Ayah dan ibunya ada di situ juga, di ruang tamu, menonton televisi. Tapi bukan sekadar menonton—mereka tampaknya berdiskusi ringan tentang acara yang mereka lihat. Di sudut ruangan ada lemari kecil berisi buku. Di atas meja, tergeletak sebuah koran. Ruangan tampak rapi, wajah-wajahnya cerah. Tak ada suara pertengkaran, tak ada bayangan kelelahan, seolah dunia kecil mereka utuh dan tenteram.
Sebagai anak kecil, saya ingin masuk ke dalam gambar itu. Bukan hanya ingin melihat lebih dekat, tapi ingin tinggal di sana. Di ruang tamu yang tidak sumpek. Di tengah keluarga yang punya waktu duduk bersama. Dalam suasana rumah yang tidak buru-buru, tidak bising, tidak lelah.
Belakangan saya menyadari, saya tidak sendirian. Banyak dari kita, terutama yang tumbuh dari keluarga sederhana—atau kalau dikatakan terus terang dan jujur: miskin—memandangi gambar-gambar itu bukan sebagai ilustrasi pelajaran, tapi sebagai jendela menuju dunia yang lebih baik. Kita kira, hidup seperti itu adalah standar. Yang lain-lain—yang kita alami—hanyalah kebetulan nasib.
Padahal gambar-gambar itu bukan sekadar gambar. Ia adalah semacam propaganda lembut. Ia menyampaikan pesan diam-diam: bahwa inilah kehidupan normal. Bahwa keluarga yang harmonis, sejahtera, dan cerdas itu bukan impian, tapi kenyataan biasa bagi warga negara yang baik.
Gambar dalam buku pelajaran tidak pernah netral. Ia membentuk imajinasi kolektif tentang “hidup wajar”. Normal berarti cukup makan. Normal berarti punya televisi. Normal berarti ayah dan ibu hadir, duduk bersama anak-anak, dan ada obrolan ringan di sela-sela berita.
Yang tidak digambarkan adalah keluarga yang hidup di rumah petak, atau rumah berdinding gedheg—anyaman bambu yang tak benar-benar bisa menahan dingin. Anak-anak yang harus bergiliran sepatu untuk sekolah. Ibu yang tak sempat membaca koran karena terlalu lelah mengurus segala urusan rumah tangga dan anak-anaknya yang sedikit nakal. Ayah yang pulangnya seminggu sekali, atau kalaupun tidak, pulang saat anak-anak sudah tidur karena kerja serabutan. Yang tidak tergambar adalah kekurangan, kelelahan, dan kecemasan yang sebenarnya lebih umum daripada gambar yang kita lihat.
Gambar-gambar itu bukan kebohongan. Tapi mereka menyembunyikan kenyataan. Mereka menyusun versi hidup yang rapi, dan mengajak kita percaya bahwa itu bisa jadi milik siapa saja—asal rajin belajar, patuh pada orang tua, dan tidak banyak bertanya, cukup bersikap baik kepada negara—dalam versi buku pelajaran, tentu saja.
Kita tumbuh besar membawa harapan diam-diam itu. Dan seandainya suatu hari kita benar-benar punya rumah sendiri, bisa membeli televisi, bisa langganan koran, kita baru sadar: yang dulu kita cari bukan benda-bendanya. Tapi suasananya. Rasa cukupnya. Rasa tenangnya.
Dan ternyata, suasana itu tidak otomatis datang bersama televisi. Tidak serta-merta hadir dengan lemari buku. Tidak otomatis terbentuk hanya karena kita mengikuti semua nasihat di buku.
Yang dulu kita kira “dunia normal”, ternyata adalah narasi. Narasi tentang kesejahteraan yang tidak pernah menjelaskan bagaimana ia dicapai—dan siapa saja yang tertinggal dalam prosesnya.
Kini, kita hidup dalam dunia yang lebih penuh gambar. Gambar tak lagi statis seperti di buku pelajaran. Ia mengalir setiap detik di layar ponsel. Instagram, TikTok, Youtube, semuanya menampilkan versi-versi baru dari rumah yang rapi, keluarga yang harmonis, dan hidup yang bahagia. Tapi wataknya masih sama: menyembunyikan. Merapikan kenyataan. Mengemas luka.
Kita masih ingin masuk ke gambar. Hanya saja sekarang gambar itu bergerak. Berkilau. Disertai musik latar.
Tapi rasa laparnya tetap sama: lapar akan hidup yang lebih utuh, lebih tenang, lebih bisa dikejar tanpa harus kehilangan diri.
Mungkin, saatnya kita menggambar ulang hidup kita sendiri. Dengan kelelahan, dengan ketidaksempurnaan, tapi dengan kejujuran. Supaya kelak anak-anak kita tidak hanya melihat hidup, tapi juga merasakannya—tanpa ilusi, tanpa rasa kalah sebelum memulai.
Kalau kita memang terpaksa hidup dalam kekurangan, mungkin yang bisa kita wariskan hanyalah pemahaman. Bahwa kemiskinan bukanlah aib, bukan kutukan, dan bukan pula akhir dari segalanya. Tidak semua orang tercipta untuk jadi kaya—dan itu bukan kesalahan siapa-siapa (terkadang, salah negara sih...).
Sebab pada akhirnya, kita mesti sadar: kaya itu relatif, tapi miskin… sering kali terasa mutlak.
Join the conversation