Masalah Saya dan Seminar

Catatan kecil tentang ketidakcocokan saya dengan seminar, kecintaan pada ruang kelas kecil, dan upaya berdamai dengan kegagalan menjadi sarjana.

Entah kenapa seminar, setidaknya bagi saya, bukan ruang yang tepat untuk mengembangkan diri atau sekadar menambah pengetahuan—minimal untuk sekadar paham. Meskipun, menurut beberapa dosen, seminar adalah gerbang menuju pengetahuan yang ideal. Bukan berarti saya menyelisihi pendapat itu. Tapi, begini…

Sering kali saya duduk di kursi seminar dengan mata yang memang terbuka, tetapi pikiran saya entah melayang ke mana. Mungkin ke halaman buku yang belum selesai saya baca, atau ke obrolan santai bersama teman yang justru lebih membuat saya paham. Di hadapan pembicara yang tampil penuh keyakinan, saya merasa seperti penonton yang tak benar-benar diajak berbicara. Materinya memang terdengar penting, cara penyampaiannya pun meyakinkan, tapi ada jarak yang tak kunjung rapat. Seminar, bagi saya, lebih sering menjadi ruang di mana saya hadir secara fisik, namun pulang tanpa membawa apa-apa selain tanda tangan daftar hadir—dan kalau boleh jujur, saya mungkin lebih memilih ngopi atau melakukan hal tidak berguna lainnya. Mungkin itu juga salah satu alasan kenapa kuliah saya tidak selesai dan saya gagal jadi sarjana… 😂

Tak jarang, model mental seperti ini membuat saya nguda rasa kepada diri sendiri. Barangkali memang saya tidak berbakat menjadi ilmuwan, atau sekurang-kurangnya memang tidak pantas menjadi sarjana. Apalagi menjadi intelektual ideal seperti yang dibayangkan Ali Shariati.

Namun seiring waktu, saya mulai bertanya-tanya, apakah ketidakcocokan itu sungguh berarti saya gagal? Ataukah saya hanya tidak pernah menemukan cara belajar yang sesuai dengan irama pikiran saya sendiri? Mungkin memang ada orang yang tumbuh di tengah seminar dan sorak tepuk tangan, tetapi ada pula yang lebih nyaman belajar dalam percakapan kecil, di sela ngopi, atau di halaman buku yang dibaca perlahan. Jika ukuran keberhasilan hanya ditentukan oleh kesanggupan duduk lama di kursi seminar, maka banyak kegelisahan seperti saya akan selalu dianggap malas, bodoh, atau kurang berambisi. Padahal, bisa jadi yang kurang bukan semangat, melainkan ruang yang membuat kami merasa tidak asing.
Oh… apakah memang karena bodoh, ya…?

Tapi, barangkali bukan hanya saya yang merasakan ini. Untuk orang-orang yang sejenis dengan saya—yang lebih sering gelisah ketimbang terpukau di ruang seminar—ada satu kutipan yang rasanya tak boleh dilupakan. Neil Postman, dalam Teaching as a Subversive Activity, menulis bahwa pendidikan yang hidup adalah pendidikan yang merangsang pertanyaan, bukan sekadar memberi jawaban jadi. Seminar yang sibuk menawarkan jalan pintas—cara cepat sukses, lima langkah menjadi pengusaha, resep instan menjadi hebat—atau, dalam dunia kuliah saya di bidang agama: Menjadi Motivator Masyarakat ala Fulan, Metodologi Penelitian Hadis ala Si Anu, Bedah Buku Tafsir yang Tak Pernah Saya Baca Sampai Habis—justru perlahan membunuh daya pikir. Bagi sebagian orang, mungkin model itu menggerakkan. Tapi bagi kami, yang duduk di bangku sambil menahan kantuk dan bertanya-tanya apakah semua ini sungguh perlu, jawaban-jawaban cepat itu malah terasa seperti selimut yang menutupi rasa ingin tahu.

Tentu tidak menutup kemungkinan ada seminar-seminar yang lebih terbuka, yang memberi ruang untuk bertanya, bahkan mencoba berdialog. Tapi rasanya tetap ada yang kurang efektif. Bukan semata karena pembicaranya, melainkan karena bentuknya sendiri: terlalu banyak peserta, terlalu sedikit waktu, dan terlalu banyak yang harus disampaikan. Dalam kondisi begitu, jangankan menyerap dengan baik, mendengarkan pun kadang terasa seperti menampung air dengan telapak tangan. Sekilas basah, tapi tak banyak yang benar-benar tertinggal.

Saya sendiri lebih tertarik pada ruang kelas yang tidak seluas aula, dengan jumlah mahasiswa yang sedikit dan suasana yang lebih akrab. Di sana, saya merasa lebih mudah paham, lebih leluasa bertanya, dan lebih ringan untuk tidak merasa terasing. Rasanya seperti benar-benar diajak berpikir, bukan hanya diminta mendengar. Dosen yang saya sukai bukan hanya sekadar pintar—dalam arti tahu banyak dan bisa menjelaskan—tetapi juga cerdas, dalam arti mampu menyesuaikan cara menyampaikan dengan siapa yang sedang diajak bicara. Saya percaya, kepintaran bisa dibeli: lewat gelar, sertifikat, pelatihan, atau koneksi. Tapi kecerdasan, bagi saya, lahir dari kebiasaan belajar yang tenang, berulang, dan tidak sombong.

Pernah satu kali, di tengah perkuliahan yang suasananya sepi tapi hidup, dosen saya mengangkat soal kepandaian. Katanya, ada dua macam: kepandaian struktural dan kepandaian kultural. Struktural adalah kepandaian yang bisa dicatat dalam angka—nilai ujian, IPK, daftar prestasi. Tapi yang kultural lebih halus. Ia tak bisa ditulis di transkrip, tapi terasa dalam cara seseorang menyikapi hidup. Kamu bisa saja lulus dengan nilai nyaris sempurna, tapi tetap saja kikuk membaca situasi, kurang peka melihat tanda, atau kaku dalam berdialog. Dosen saya menyebut itu sebagai kepandaian yang belum matang secara kultural.

Saya menyimpan kata-kata itu cukup lama, mungkin karena merasa tertampar pelan. Sebab rasanya memang benar: ada banyak orang pandai, tapi tidak semua benar-benar paham. Dan mungkin, ruang kelas yang tenang, yang memberi waktu untuk berpikir tanpa sorotan, adalah tempat yang lebih subur bagi tumbuhnya kepandaian semacam itu—dibanding seminar yang ramai dan serba cepat.

Mungkin itu sebabnya saya tak pernah benar-benar akrab dengan seminar. Saya sudah mencoba duduk manis, mencatat, bahkan pura-pura antusias, tapi tetap saja tak merasa tumbuh. Barangkali cara saya belajar memang lebih cocok di ruang yang kecil dan tenang, bersama orang-orang yang tak buru-buru memberi jawaban. Mungkin itu sebabnya kuliah saya tak selesai. Mungkin juga itu bukan sepenuhnya kesalahan. Siapa tahu, belajar memang punya jalannya sendiri—dan jalan saya, rupanya, tidak lewat panggung seminar.

Dan pada akhirnya, saya tetap seperti ini… tidak sepandai teman-teman saya yang menjadi sarjana. Rupanya, untuk bisa pandai seperti mereka, memang perlu mumet, dan saya waktu itu tidak sanggup. Tapi setidaknya, saya tidak mumet mengerjakan skripsi.