Tes Kesaktian ala Spirit Carries On: Teknisi yang Tidak Tahu Dimana Kerusakannya

Cerita ringan teknisi yang merawat komputer tua dengan kesabaran, diiringi semangat The Spirit Carries On

Ada komputer yang kadang seperti manusia tua: rewel hari ini, pasrah esok hari, lalu entah bagaimana tiba-tiba pulih tanpa penjelasan. Orang mungkin menyebutnya sekadar kerusakan sistem operasi, driver usang, atau kabel jaringan yang longgar, tapi bagi sebagian teknisi yang sabar, kejadian semacam ini terasa mirip misteri yang tak layak dijawab tuntas. Sebab bila semua hal bisa diuraikan dalam tabel penyebab dan solusi, barangkali kita akan kehilangan rasa takjub terhadap hal-hal yang tampaknya sepele.

Beberapa komputer di sudut rental ini sudah melewati masa hidup yang panjang—prosesor tua yang hanya sanggup merangkak saat membuka dua tab browser, kipas pendingin yang meraung seperti pengakuan dosa, dan casing yang sudah berkali-kali dibuka hanya untuk memastikan kabel tidak bergeser setengah milimeter. Kita terkadang mencibir mereka sebagai “komputer jadul,” tapi anehnya, justru mesin-mesin sepuh inilah yang kerap bertahan paling lama. Mereka lambat, mudah tersinggung, tapi tak gampang mati. Barangkali karena pemiliknya tak menuntut macam-macam, atau karena perlawanan mereka terhadap keausan diciptakan dengan niat baik—bukan bagian dari rencana pabrik yang sengaja membuat barang rapuh agar kita cepat-cepat membeli pengganti.

Pada malam yang sedikit pengap itu, saya duduk di depan salah satunya, sambil memutar lagu agar ruangan tidak begitu senyap: The Spirit Carries On dari Dream Theater. Rasanya pas—karena kalaupun komputer ini akhirnya menyerah, setidaknya kita sudah mencoba segalanya. Saya tidak langsung terburu-buru mencabut harddisk atau memvonis format ulang. Mulai dari hal yang paling remeh dulu. Saya membuka Device Manager, menatap driver jaringan yang statusnya abu-abu, lalu mencoba update driver—meski sudah berkali-kali hasilnya nihil. Kabel LAN saya cabut, saya pasang lagi pelan-pelan, seakan jika gerakannya lebih lembut, komputer akan merasa lebih dihargai. Kadang saya mematikan pengaturan hemat daya di properti perangkat, sebab di komputer tua, penghematan sering berujung pemutusan sambungan yang tidak perlu. Kalau masih keras kepala, saya mengetik netsh winsock reset di jendela Command Prompt, semacam mantra kecil yang entah sejak kapan menjadi ritual wajib. Dan jika semua itu belum berhasil, ya sudah—restart. Sebuah tindakan sederhana yang sering disepelekan, padahal berkali-kali menyelamatkan muka teknisi di hadapan pemilik rental.

Ada yang bilang langkah-langkah ini terlalu sederhana, seperti orang berdiri di tepi sungai dan berharap airnya surut hanya dengan menatap. Tapi dari pengalaman, justru yang sederhana inilah yang kadang lebih mujarab daripada teori rumit yang panjang. Sebab tidak semua error datang dari sebab besar. Banyak yang lahir hanya dari pengabaian kecil yang menumpuk lama.

Milan Kundera pernah menulis, yang saya lupa dimana tulisan itu tercantum“The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting.”

Bisa jadi perjuangan teknisi hari ini bukan hanya melawan error, tetapi juga melawan amnesia: ingatan akan trik-trik kuno yang dulu berhasil, doa-doa kecil yang sempat diucapkan dalam hati ketika loading bar Windows tak kunjung penuh. Kita tidak selalu tahu mana bagian yang benar-benar rusak, sama seperti kita tak selalu tahu bagian mana dari hidup kita yang sesungguhnya lelah. Tapi kalau spirit kita mau bertahan, komputer pun terkadang ikut pulih.

Maka ketika mesin tua itu akhirnya nyala tanpa pesan error, saya hanya bisa tersenyum. Tidak sepenuhnya karena merasa berhasil, melainkan karena di dunia yang gemar membuang segala sesuatu yang lambat, masih ada satu-dua komputer tua yang diam-diam ingin bertahan lebih lama. Karena di dunia ini, tak semua yang lambat harus disingkirkan. Dan diam-diam, kita pun bersyukur diberi kesabaran untuk merawatnya.