Daftar Pustaka Kemiskinan Kami
Ini bukan pamer. Kami hanya ingin berkisah, bahwa kami pernah—setidaknya pernah—bercita-cita menjadi orang pintar.
Ya, sesekali kami membaca buku. Tidak sesering para magister atau doktor, tentu saja. Tapi kami pernah duduk memelototi halaman demi halaman, menandai kalimat-kalimat yang katanya penting, dan mengangguk-angguk pura-pura paham. Kami kira, kepintaran itu bisa menyelamatkan kami dari kemiskinan.
Tapi ternyata tidak.
Dan...kami juga tidak pintar seperti yang kami cita-citakan sebelumnya.
Kami tetap miskin dan tidak terlalu pintar seperti para sarjana, magister atau doktor. Tapi setidaknya, kemiskinan kami masih ada sanadnya. Masih pula bereferensi. Karena hari ini, kemiskinan bukan hanya soal isi dompet. Ia adalah soal struktur. Soal sejarah. Soal sistem yang dibangun dengan rapi agar kami tetap ada di bawah.
Jadi kami belajar. Membaca. Mencoba memahami mengapa kami selalu kalah bahkan sebelum bertanding. Kami temukan Marx. Ia bukan nabi, tapi kalimat-kalimatnya seperti nubuat: “Sejarah segala masyarakat hingga kini adalah sejarah perjuangan kelas.”
Kami pernah bertemu Paulo Freire—bukan secara langsung, tentu saja—melainkan lewat halaman bukunya. Ia bilang, pendidikan itu seharusnya membebaskan, bukan menjinakkan. Kami pun mulai percaya, mungkin benar: belajar bukan untuk jadi patuh, tapi untuk jadi sadar.
Tapi hidup berkata lain.
Kami sadar, justru yang paling banyak mendapat peluang—kerja, proyek, bahkan beasiswa—adalah mereka yang paling pandai patuh. Yang tahu kapan harus diam, kapan mengangguk, dan kepada siapa harus menyembah. Maka pendidikan tak lagi jadi jalan pembebasan, tapi jadi ujian kesetiaan. Yang tidak "manut", disingkirkan pelan-pelan.
Mungkin Freire lupa menulis bab tentang bagaimana cara bertahan hidup di tengah sistem yang hanya membuka pintu untuk mereka yang tahu caranya merunduk.
Kami juga membuka lembar-lembar Mythologies-nya Barthes. Di sana, kami belajar bahwa mitos tidak selalu berupa dewa atau legenda, tapi bisa berupa hal-hal yang tampak biasa: iklan, gaya hidup, bahkan kemiskinan. Maka kami pun curiga, jangan-jangan kemiskinan kami ini juga cuma mitos. Sebuah cerita yang terus diulang, hingga terdengar wajar.
Tapi kami tahu, ada sesuatu yang lebih kuat dari sekadar cerita: sistem.
Sebuah susunan besar yang—yah, entahlah—terkadang terasa seperti sengaja membiarkan kami tetap miskin.
(Halah… kok ndadak nyalahke sistem.)
Kami bahkan sempat membuka Logika Marx karya Jindřich Zelený, meski harus mengernyit lebih sering daripada mengerti. Tapi bukan berarti hidup kami berubah.
Kami tetap antre agar mendapatkan gas melon dan kebutuhan yang tersubsidi lainnya. Tetap menunggu bantuan. Tetap harus berpikir dua kali sebelum membeli minyak goreng. Karena membaca pemikiran-pemikiran Marx tidak lantas membuat harga minyak goreng turun.
Namun tetap kami baca. Karena kami percaya, kalaupun kami tak bisa keluar dari kemiskinan, setidaknya kami tahu bagaimana kemiskinan itu dibuat. Kami mungkin tidak bisa membeli rumah, tapi kami bisa membaca peta yang, entah kenapa, selalu membawa kami kembali ke tempat yang sama..
Dan ternyata, ada kebahagiaan yang aneh dalam membaca sambil tetap miskin. Miskin tapi paham. Tidak punya uang, tapi punya tafsir.
Kami juga pernah membaca Bertamasya ke Dunia Hiperrealitas—atau apalah judul pastinya, kami lupa. Kalau tidak salah, itu tulisan Umberto Eco. Isinya tentang Disneyland, kitsch, dan segala hal yang terlalu sempurna sampai kehilangan maknanya. Lalu kami berpikir, jangan-jangan kemiskinan kami ini juga semacam simulasi? Seolah-olah nyata, padahal hanya pengulangan simbol belaka. Dipamerkan, dikemas, disebarluaskan. Ditampilkan dalam iklan, diolah jadi konten donasi, dimanfaatkan sebagai cerita inspiratif.
Kami jadi curiga: mungkin kami memang miskin, tapi kemiskinan yang kami jalani ini bukan lagi sekadar kenyataan, ia sudah jadi tontonan. Sudah jadi narasi yang diatur agar publik bisa merasa peduli, tanpa benar-benar mengubah apa pun. Kami hidup di tengah hiperrealitas itu. Dimiskinkan sekaligus dipertontonkan.
Di saat yang lain, kami juga membaca Sartre. Kami merasa sedikit bahagia. Ternyata, hidup yang membingungkan bukan cuma milik kami. Bahkan filsuf sekelas Sartre pun gelisahnya tak ketulungan. Kami jadi agak tenang, karena artinya, kami tidak sendirian. Kami memang miskin, tapi setidaknya kami gelisah bersama orang besar. Bedanya, Sartre gelisah di kafe Paris dengan rokok dan kopi, kami gelisah di warung kopi rakyat jelata di pinggiran kota sambil minum kopi dengan sedikit gula dan rokok lintingan sendiri.
Apa lagi saat kami “berkenalan” dengan Knut Hamsun. Hunger, katanya. Kami pikir kami paham lapar, ternyata belum seberapa. Kami membaca kisahnya sambil mengingat sudah berapa panjang catatan utang kami, tapi tetap tak ada yang bisa menandingi kelaparan eksistensial Hamsun yang bikin orang bisa berbicara sendiri di jalan. Di balik semua itu, kami berdoa dalam diam: semoga kemiskinan kami cukup sampai di sini saja. Jangan sampai sedalam Hamsun. Cukuplah miskin kami sekadar soal ketidakpunyaan uang, bukan kelaparan yang sampai membuat kami berbincang dengan jendela toko. (Lahul fatihah....😁😁)
Sanad Kemiskinan Kami
Kami menyebut diri miskin, bukan untuk pamer penderitaan. Tapi setidaknya, kemiskinan kami punya sanad. Ada Abu Dzar, ada Abu Hurairah, ada Uwais al-Qarni (Lahumul faatihah...). Mereka miskin, tapi punya kemuliaan. Kami? Ya... barangkali hanya ikut-ikutan atau sekedar agar miskin kami memiliki alasan dan agar kemiskinan ini tidak menjadi kemiskinan yang sekadar taklid buta.
“Abu Dzar, apa kamu lihat gunung itu? Aku tidak ingin harta sebanyak gunung itu, kecuali untuk aku bagi-bagikan kepada orang-orang yang miskin.”
— Nabi Muhammad SAW (HR. Muslim)
Meski sabda Nabi juga jelas:
"Kefakiran dekat dengan kekufuran."
Tapi setidaknya kami “sedikit” menjauh dari kekufuran itu dengan tidak menjadi terlalu amat bodoh sebagai umat Nabi Muhammad. Ya, meski sesekali kami harus mengingkari beberapa perintahnya… Untuk sedekah, misalnya.
Kami benar-benar ingin memberi, sungguh. Tapi kadang, bahkan gas melonpun tak bisa kami beli.
Penutup
Jadi kalau ada yang bertanya, mengapa kami miskin tapi tetap sok bicara soal filsafat, pendidikan, dan keadilan, jawabannya sederhana:
Karena menjadi bodoh di tengah kemiskinan adalah nestapa berlapis. Dan kami tidak ingin terlalu malang.
Setidaknya, dalam kemiskinan ini, kami masih punya daftar pustaka. Masih bisa menyisipkan footnote, meski kadang untuk beli catatan kaki pun kami harus ngutang… hehehe.
Jadi jangan salahkan kami kalau kami tetap keras kepala dengan buku-buku kami. Karena satu-satunya hal yang bisa kami lawan hanyalah kebodohan kami sendiri.
Dari pada
“Wis bodho, gelut gak wani, ngeyel kalahan, mlarat meneh...”
Join the conversation